Falsafah yang mendasari model pembelajaran kooperatif adalah homo
homoni socius, falsafah ini menekankan bahwa manusia adalah makhluk sosial.
Kerjasama merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup.
a. Pengertian Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif adalah salah satu bentuk
pembelajaran yang berdasarkan faham
konstruktivis. Pembelajaran kooperatif merupakan model belajar dengan sejumlah
siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda. Dalam
menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap siswa anggota kelompok harus saling
bekerja sama dan saling membantu untuk memahami materi pelajaran. Pembelajaran kooperatif
belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan
pelajaran
Menurut Frey, Fisher dan Everlove (2009: 14) yang
menyatakan “cooperative learning as an
instructional arrangement that allows two to six students the opportunity to work
together on a shared task in order to jointly construct their knowledge and
understanding of the content”. Maknanya, pembelajaran kooperatif merupakan
pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada dua sampai enam orang siswa
untuk membentuk kelompok dan bekerja sama menyelesaikan tugas dan bersama-sama
membangun pengetahuan dan pemahaman tentang materi pelajaran. Ini berarti model
pembelajaran kooperatif memfasilitasi pembentukan kelompok-kelompok dalam
kegiatan pembelajaran agar siswa dapat berdiskusi dan berbagi pengetahuan dan
pengalaman mereka untuk memecahkan masalah-masalah yang diberikan dalam proses
pembelajaran. Komposisi kelompok dan proses interaksi sangat mempengaruhi
kesuksesan atau kegagalan kelompok cooperative
learning (Courtney & Peterson, 2002: 2).
Slavin
(2005: 2) merumuskan
pembelajaran kooperatif sebagai berikut.
Cooperative learning refers to a variety of
teaching methods in which students work in small groups to help one another
learn academic content. In cooperative classrooms, students are expected to
help each other, to discuss and argue with each other, to assess each other’s
current knowledge and fill in gaps in each other understands. Cooperative work
rarely replaces teacher instruction, but rather replaces individual seat work,
individual study, and individual drill. When properly organized, students in
cooperative groups work with each other to make certain that everyone in the
group has mastered the concepts being taught.
Definisi
di atas menjelaskan bahwa pembelajaran kooperatif mengacu kepada metode
pembelajaran dimana siswa bekerja dalam kelompok kecil untuk saling membantu
mempelajari materi pelajaran. Dalam kelas kooperatif siswa diharapkan untuk
saling membantu, berdiskusi, berdebat, saling menilai pengetahuan terbaru dan
saling mengisi kelemahan dalam pemahaman masing-masing.
Pembelajaran
kooperatif adalah para siswa bekerja sama untuk memenuhi sasaran bersama. Siswa
dapat menjangkau sasaran pelajaran, jika siswa yang lain di dalam kelompok
belajar, juga mempunyai sasaran yang sama, ketercapaian sasaran belajar adalah
pengaruh dari hubungan kerjasama mereka dalam belajar (Johnson & Johnson,
2002: 20).
Pembelajaran
kooperatif adalah pengelolaan pembelajaran di kelas untuk memperoleh hasil belajar
bersama, di dalam mengatur kerjasama di kelas, siswa bekerja pada kelompok
kecil yang setiap anggotanya bertanggungjawab pada hasil dan persamaan hak
penilaian (Dornyei, 2000: 40).
Arends & Kilcher (2010: 306) menyatakan bahwa “Cooperative learning is a
teaching model or strategy that is characterized by cooperative task, goal, and
reward structures, and requires students to be actively engaged in discussion,
debate, tutoring, and teamwork”. Artinya bahwa pembelajaran
kooperatif adalah model atau strategi pembelajaran yang mempunyai karakter
seperti tugas kelompok, tujuan, dan struktur penghargaan, dan membutuhkan keaktifan
siswa dalam diskusi, debat, latihan, dan kerja sama tim.
Joyce, Weil & Calhoun (2004: 30) menyatakan bahwa Cooperative learning procedures facilitate
learning across all curriculum areas and ages, improving, self-esteem, social
skill and solidarity, and academic learning goals ranging from the acquisition
of information and skill through the modes of inquiry of the academic
disciplines. Maksudnya bahwa prosedur pembelajaran kooperatif memfasilitasi belajar disegala
bidang kurikulum dan usia, meningkatkan, harga diri, ketrampilan sosial dan
solidaritas, dan tujuan belajar akademik mulai dari perolehan informasi dan
keterampilan melalui cara-cara penyelidikan dari disiplin akademis.
Pembelajaran
kooperatif (cooperative learning) adalah proses belajar mengajar yang
melibatkan penggunaan kelompok-kelompok kecil yang memungkinkan siswa
untuk bekerja secara bersama-sama di
dalamnya guna memaksimalkan pembelajaran mereka sendiri dan pembelajaran satu
sama lain (Johnson, Johnson, & Holubec, 2010: 4).
Pembelajaran
kooperatif adalah suatu teknik untuk mendukung dan meningkatkan serangkaiaan keputusan
pengajaran, tetapi tidak dimaksudkan untuk mengakhiri pelajaran. Meskipun
begitu, keuntungan menggunakan pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan
perhatian dan mendorong kita untuk membaca (Jones & Jones, 2001: 232)
Pada
pemebelajaran kooperatif diajarkan keterampilan-keterampilan khusus agar dapat
bekerjasama dengan baik di dalam kelompoknya, seperti menjadi pendengar yang
baik, siswa diberi lembar kegiatan yang berisi pertanyaan atau tugas yang
direncanakan untuk dijarkan. Selama kerja kelompok, tugas anggota kelompok
adalah mencapai ketuntasan (Slavin, 1995: 2).
Gillies at. all.
(2008: 97) menjelaskan “Cooperative
learning teams were used as a vehicle to get students to engage in academic
interactions that would further their understanding of what had been taught
(National Reading Panel, 2000)”. Pembelajaran
kooperatif digunakan sebagai kendaraan untuk mendapatkan siswa untuk terlibat interaksi dalam bidang akademik yang akan meningkatkan pemahaman tentang apa yang telah
diajarkan
Jadi
pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran yang banyak melibatkan aktivitas
siswa dalam mempelajari materi yang diberikan. Dalam kelompok-kelompok kecil,
siswa akan lebih banyak terlibat, saling membantu dan bertanggungjawab terhadap penguasaan materi untuk dapat
memaksimalkan pencapaian hasil belajar.
b.
Ciri-Ciri Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran
kooperatif memiliki karakteristik tersendiri jika dibandingkan dengan
pembelajaran lain. Kerjasama dalam kelompok untuk mencapai tujuan bersama
merupakan ciri khas dalam pembelajaran kooperatif. Dalam pembelajaran
kooperatif siswa mempunyai kesempatan untuk mengkostruksikan sendiri setiap materi
dan memperdalam pemahaman.
Pembelajaran
kooperatif merupakan pembelajaran yang mempunyai ciri-ciri yaitu: a) saling
ketergantungan positif antara anggota kelompok, b) ada pertangungjawaban secara
individu, c) anggota kelompok heterogen, d) berbagi kepemimpinan, e) berbagi
tanggungjawab, f) menekankan pada tugas dan kebersamaan, g) membentuk
keterampilan sosial, h) guru mengamati interaksi belajar peserta didik, dan i)
efektifitas belajar tergantung pada kelompok (Johnson & Johnson, 2002:
20-24)
Depdiknas (2005) ciri-ciri pembelajaran kooperatif
adalah: a) siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk menuntaskan
materi belajarnya, b) kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan
tinggi, sedang, dan rendah, c) bila memungkinkan, anggota kelompok berasal dari
ras, budaya, suku, jenis kelamin yang berbeda-beda, dan d) Penghargaan lebih
berorientasi kelompok dari pada individu
Sehubungan
dengan itu, Stahl (1999: 10-14) menyebutkan bahwa bahwa terdapat 10 unsur
mendasar dalam pembelajaran kooperatif:
1) clear set of specific student learning
outcome objectives, 2) common acceptance of the student outcome objectives, 3)
positive interdependence, 4) face-to-face interaction, 5) individual
accountability, 6) public recognition and rewards for group academic success,
7) heterogeneous groups, 8) positive social interaction behavior and attitudes, 9) postroup reflection
(debriefing) over group process, and 10) sufficient time for learning.
Maksud pendapat di atas
bahwa terdapat sepuluh unsur mendasar dalam setiap pembelajaran kooperatif.
Kesepuluh unsur tersebut adalah seperangkat tujuan khusus hasil pembelajaran
siswa, penerimaan umum terhadap tujuan hasil siswa, interpendensi positif,
interaksi tatap muka, pertanggungjawaban individu, pengakuan publik dan
penghargaan bagi keberhasilan akademik kelompok, kelompok heterogen, perilaku
dan sikap interaksi sosial positif,
renungan pasca kelompok (debriefing)
mengenai proses kelompok, dan waktu belajar yang cukup.
Arends
(1997:
110) menuliskan
pembelajaran kooperatif dapat ditandai oleh fitur-fitur sebagai berikut: a) siswa bekerja dalam tim untuk mencapai
tujuan belajar, b) tim-tim
itu berdiri sendiri atas siswa-siswa yang berprestasi rendah, sedang dan tinggi, c) bila mungkin, tim-tim itu terdiri
atas campuran ras, budaya, dan gender, dan d) sistem reward-nya berorientasi kelompok maupun
individual.
Tiga
konsep sentral yang menjadi karakteristik pembelajaran kooperatif sebagaimana
dikemukakan oleh Slavin (2005: 10) yaitu penghargaan kelompok,
pertanggungjawaban individu, dan kesempatan yang sama untuk berhasil.
a.
Penghargaan kelompok
Pembelajaran kooperatif
menggunakan tujuan-tujuan kelompok untuk memperoleh penghargaan kelompok.
Penghargaan kelompok diperoleh jika kelompok mencapai skor di atas kriteria
yang ditentukan. Keberhasilan kelompok didasarkan pada penampilan individu
sebagai anggota kelompok dalam menciptakan hubungan antar personal yang saling
mendukung, saling membantu, dan saling peduli.
b.
Pertanggungjawaban individu
Keberhasilan kelompok
tergantung dari pembelajaran individu dari semua anggota kelompok.
Pertanggungjawaban tersebut menitik beratkan pada aktivitas anggota kelompok
yang saling membantu dalam belajar. Adanya pertanggungjawaban secara individu
juga menjadikan setiap anggota siap untuk menghadapi tes dan tugas-tugas
lainnya secara mandiri tanpa bantuan teman sekelompoknya.
c.
Kesempatan yang sama untuk mencapai
keberhasilan
Pembelajaran kooperatif
menggunakan metode skoring yang mencakup nilai perkembangan berdasarkan
peningkatan prestasi yang diperoleh siswa dari yang terdahulu. Dengan menggunakan
metode skoring ini setiap siswa baik yang berprestasi rendah, sedang, atau
tinggi sama-sama memperoleh kesempatan untuk berhasil dan melakukan yang
terbaik bagi kelompoknya.
Menurut Johnson & Johnson (1987: 6) diantara yang paling mendasar dari ciri-ciri metode
pembelajaran kooperatif, ditekankan pada empat unsur-unsur: a) interaksi
berhadapan, empat orang siswa pada satu group yang berjumlah sekitar lima
kelompok, b) saling ketergantungan positif, siswa bekerjasama untuk mencapai
suatu keberhasilan belajar kelompoknya, c) tanggungjawab individu, siswa harus
menunjukan bahwa mereka sudah secara individu menguasai materi, dan e)
keterampilan kelompok kecil dan hubungan antara pribadi, siswa harus
mengajarkan bagian materi dan mendiskusikannya pada teman-teman untuk mencapai
keberhasilan kelompoknya.
Urutan
langkah-langkah prilaku guru menurut model pembelajaran kooperatif yang diuraikan
oleh Arends (2008: 21)
adalah sebagaimana terlihat pada tabel dibawah ini:
Tebel 4.
Langkah-langkah Model
Pembelajaran Kooperatif.
Fase
|
Prilaku
Guru
|
Fase
1:
Mengklarifikasi
tujuan dan establishing set
|
Guru
menjelaskan tujuan-tujuan pelajaran dan establishing
set.
|
Fase
2:
Mempresentasikan
informasi
|
Guru
mempresentasikan informasi kepada siswa secara verbal atau dengan teks.
|
Fase
3:
Mengorganisasikan
siswa kedalam tim-tim belajar
|
Guru
menjelaskan kepada siswa tata cara
membentuk tim-tim belajar dan membantu kelompok untuk melakukan transisi yang
efisien.
|
Fase
4:
Membantu
kerja-tim dan belajar
|
Guru
membantu tim-tim belajar selama mereka mengerjakan tugas.
|
Fase
5:
Menguji
berbagai materi
|
Guru
menguji pengetahuan siswa tentang berbagai materi belajar atau
kelompok-kelompok mempresentasikan hasil-hasil kerjanya.
|
Fase
6:
Memberikan
penghargaan
|
Guru
memberi penghargaan hasil belajar siswa baik itu hasil belajar individu
maupun kelompok.
|
Terdapat
enam fase utama dalam pembelajaran kooperatif. Pembelajaran dalam kooperatif
dimulai dengan guru menginformasikan tujuan-tujuan dari pembelajaran dan
memotivasi siswa untuk belajar. Fase ini diikuti dengan penyajian informasi,
sering dalam bentuk teks bukan verbal. Kemudian dilanjutkan langkah-langkah di
mana siswa di bawah bimbingan guru bekerja bersama-sama untuk menyelesaikan
tugas-tugas yang saling bergantung. Fase terakhir dari pembelajaran kooperatif
meliputi penyajian produk akhir kelompok atau mengetes apa yang telah
dipelajari oleh siswa dan pengenalan kelompok dan usaha-usaha individu.
Dari beberapa ciri-ciri yang disampai diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa pada prinsipnya pembelajaran kooperatif dapat dilihat dari
ciri-ciri: a) belajar bersama-sama dalam kelompok kecil, b) saling memberikan
pendapat, c) saling mendengarkan dan menghargai pendapat, d) adanya interaksi
tatap muka antara siswa, e) adanya tanggungjawab individu dan kelompok untuk
mencapai keberhasilan, dan f) adanya penghargaan kelompok. Ciri-ciri pembelajaran
kooperatif ini akan terlaksana dengan efektif melalui fase-fase pembelajaran
kooperatif dimana guru akan bertindak sebagai fasilitator.
c.
Tujuan Pembelajaran Kooperatif
Menurut Slavin (2005: 3) tujuan dari pembelajaran
kooperatif adalah menciptakan situasi dimana keberhasilan individu ditentukan
atau dipengaruhi oleh keberhasilan kelompoknya. Sejalan dengan itu Johnson
& Johnson (1987: 2) mengatakan bahwa pembelajaran kooperatif bertujuan untuk
meningkatkan prestasi, merangsang peengembangan teori, peningkatan harga diri
dan mempromosikan kegemaran untuk sekolah, tidak hanya kuat dan mudah
disesuaikan dengan situasi pelajaran, juga menjadi dasar berkehidupan untuk
bekerjasama dengan orang lain pada suatu pekerjaan, memelihara kekeluargaan,
dan aktif sebagai bagian dari komunitas atau masyarakat.
Menurut
Arends (2008: 5-6) model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai
tiga tujuan yaitu:
1)
Prestasi akademik.
Belajar
kooperatif sangat menguntungkan baik bagi siswa yang memiliki kemampuan tinggi
maupun rendah. Siswa berkemampuan tinggi dapat menjadi tutor bagi siswa yang
berkemampuan rendah. Dalam proses ini siswa berkemampuan lebih tinggi secara
akademis mendapatkan keuntungan, karena pengetahuannya dapat lebih mendalam.
2)
Penerimaan dan keanekaragaman.
Belajar
kooperatif menyajikan peluang bagi siswa dari latar belakang dan kondisi
sosial, untuk bekerja saling bergantung pada tugas-tugas rutin, dan melalui
struktur penghargaan kooperatif dapat belajar menghargai satu sama lain.
3)
Pengembangan keterampilan sosial
Belajar
kooperatif bertujuan mengajarkan pada siswa keterampilan-keterampilan kerjasama
dan kolaborasi. Ini adalah keterampilan yang penting yang harus dimiliki dalam
suatu masyarakat.
Muijs dan Reynolds (2005: 59) menyatakan “the use of small-group work can foster
collaborative skills and is therefore seen an important part of pupils’
development” bahwa penggunaan kelompok kecil juga
dapat membantu perkembangan keterampilan kolaboratif dan keterampilan sosial,
oleh karena itu dianggap sebagai bagian penting dari perkembangan siswa. Siswa
juga dapat saling memberikan penopang dengan cara yang sama seperti yang
dilakukan guru pada waktu tanya jawab. Pengetahuan yang didapat dalam kelompok
cendrung lebih besar dibanding kemampuan yang diperolehnya jika siswa belajar
secara perseorangan..
Suherman,
E.H., et al. (2003: 259) menyatakan cooperative
learning di dalam matematika akan dapat membantu meningkatkan sikap positif
siswa dalam matematika. Para siswa secara individu membangun kepercayaan diri
terhadap kemampuannya untuk menyelesaikan masalah-masalah matematika, sehingga
akan mengurangi bahkan menghilangkan rasa cemas terhadap matematika (math anxiety) yang banyak dialami para
siswa.
Jadi tujuan pembelajaran kooperatif adalah meningkatkan
prestasi akademik, penerimaan terhadap pebedaan individu, dan sekaligus untuk
mengembangkan keterampilan sosial. Pembelajaran kooperatif akan
dapat melatih para siswa untuk mendengarkan pendapat-pendapat orang lain dan
merangkum pendapat atau temuan-temuan dalam bentuk tulisan. Tugas kelompok akan
dapat memacu para siswa untuk bekerja sama, saling membantu satu sama lain dan
mengintegrasikan pengetahuan-pengetahuan baru dalam pengetahun yang telah
dimilikinya.
Dalam
pembelajaran kooperatif, kelas disusun
dalam kelompok yang terdiri dari 4 sampai 6 orang siswa yang heterogen. Hal ini
bermanfaat untuk melatih siswa menerima perbedaan dan bekerja dengan teman yang
berbeda latar belakangnya.
d.
Tipe-Tipe Pembelajaran Kooperatif
Menurut Arends
(1997:13-16) pembelajaran kooperatif terdiri dari Student-Achievment
Divisions (STAD), Jigsaw,
Group Investigation (GI), dan pendekatan struktural (Think Pair
Share dan Numbered Heads Together). Perbandingan beberapa tipe pembelajaran
kooperatif menurut Arends (2008: 18) seperti yang terlihat pada tabel 5
berikut:
Tabel 5.
Perbandingan tipe pembelajaran kooperatif
|
STAD
|
JIGSAW
|
GI
|
PENDEKATAN STRUKTURAL
|
Tujuan
kognitif
|
Pengetahuan
akademis faktual
|
Pengetahuan
konseptual faktual dan akademis
|
Pengetahuan
konseptual akademis dan keterampilan menyelidiki
|
Pengetahuan
akademis factual
|
Tujuan
social
|
Kerja
kelompok dan kerja sama
|
Kerja
kelompok dan kerja sama
|
Kerja
sama dalam kelompok kompleks
|
Keterampilan
kelompok dan social
|
Struktur
tim
|
Tim-tim
belajar heretrogen beranggota 4-5 orang
|
Tim-tim
belajar heterogen beranggota 4-5 orang; menggunakan tim-tim asal dan tim-tim
ahli
|
Kelompok
belajar beranggota lima sampai enam orang,mungkin homogen
|
Bervariasi
pasangan,trio,kelompok beranggota 4-6 orang
|
Pemilihan
topik pelajaran
|
Biasanya
guru
|
Biasanya
guru
|
Guru
dan/atau siswa
|
Biasanya
guru
|
Tugas
utama
|
Siswa
mungkin menggunakan worksheets dan saling membantu dalam menguasai materi
belajar
|
Siswa
menyelidiki berbagai materi di kelompok ahli; membantu anggota-anggota di
kelompok asal untuk mempelajari berbagai materi
|
Siswa
menyelesaikan penyelidikan yang kompleks
|
Siswa
mengerjakan tugas yang diberikan-sosial dan kognitif
|
asesmen
|
Tes
mingguan
|
Bervariasi-dapat
berupa tes mingguan
|
Proyek
dan laporan yang sudah dibuat; dapat berbentuk tes esai
|
Bervariasi
|
rekognisi
|
Newsletter
dan publikasi lain
|
Newsletter
dan publikasi lain
|
Presentasi
lisan dan tertulis
|
Bervariasi
|
2.
Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD
STAD dikembangkan oleh Robert Slavin
dan teman-temannya di Universitas John Hopkin, dan merupakan pendekatan
pembelajaran kooperatif yang paling sederhana dan paling mudah diterapkan oleh guru yang baru menggunakan model pembelajaran
kooperatif. Guru yang menggunakan STAD, menyajikan informasi akademik
baru kapada siswa setiap minggu menggunakan presentasi verbal atau teks.
Menurut Newman dan Thompson (Armstrong & Scott, 1998: 2) bahwa STAD adalah
tehnik kooperatif learning yang paling berhasil untuk meningkatkan prestasi
akademik siswa.
Menurut Arends (1997: 119) “teacher employing STAD, also referred to as student team learning,
present new academic information to student each week using verbal presentation
or text” guru yang menggunakan STAD
menyajikan informasi akademis baru kepada siswa setiap minggu atau secara
reguler, baik melalui presentasi verbal atau teks. Burden & Byrd (1999: 100)
kelompok STAD memuat 4 anggota yang
heterogen dari tingkat prestasi, jenis kelamin, dan suku.
Borich (2000: 388) “In Student
Team-Achievement Division (STAD), the teacher assigns students to four-or-five-members.
Each team is as heterogeneous as possible to represent the composition of the
enteri class (boys/girls, higher achieving/lower achieving, etc.). makananya
dalam Student Team-Achievement Division
(STAD), guru menetapkan siswa dalam tim yang terdiri dari empat sampai lima
orang anggota. Komposisi setiap tim dalam kelas harus heterogen yang terdiri
dari (laki-laki/perempuan, prestasi tinngi/prestasi rendah, dan lain-lain).
Menurut
Arends & Kilcher (2010: 317-318)
bahwa pembelajaran STAD,
It involves students working together in groups and groups that compete
with each other. This approach has been quite thoroughly researched and been
shown to be effective for helping students master declarative knowledge in the
form of basic facts and conceptual information. Research (Slavin, 1994) on this
approach has also revealed that it can lead to positive effects on the
relationships among racial and ethnic groups. STAD involves organizing students
into semi-permanent teams (usually together for about six weeks) and using an
improvement point scoring system.
Maknanya bahwa STAD
melibatkan siswa bekerja sama dalam kelompok-kelompok dan kelompok yang saling
bersaing. Pendekatan ini telah cukup diteliti secara menyeluruh dan telah
terbukti efektif untuk membantu siswa menguasai pengetahuan deklaratif berupa
fakta-fakta dan informasi dasar konseptual. Penelitian (Slavin, 1994) tentang
pendekatan ini juga mengungkapkan bahwa hal itu dapat menyebabkan efek positif
pada hubungan antara kelompok-kelompok ras dan etnis. STAD melibatkan pengorganisasian
siswa menjadi tim semi-permanen (biasanya bersama selama sekitar enam minggu)
dan menggunakan sistem perbaikan penilaian.
Langkah-langkah pembelajaran kooperatif tipe STAD menurut Arends, (1997: 119)
adalah sebagai berikut:
a.
Guru
yang menggunakan STAD mengenalkan informasi akademis baru kepada siswa setiap
minggu atau secara reguler, baik melalui presentasi verbal atau teks.
b.
Siswa
dalam kelas dibagi menjadi beberapa kelompok/tim belajar dengan wakil-wakil
dari gender, ras/etnis, dan dengan prestasi rendah, rata-rata dan tinggi.
Anggota-anggota tim menggunaka worksheets
atau alat belajar lain untuk menguasai berbagai materi akademis dan
kemudian saling membantu untuk mempelajari berbagai materi melalui tutoring, saling memberikan kuis atau melaksanakan diskusi tim
Tim
terdiri dari lima siswa yang mewakili seluruh bagian dari kelas dalam hal
kemampuan akademik dan
jenis kelamin. Fungsi utama dari tim ini adalah
memastikan bahwa semua anggota tim benar-benar belajar. Untuk mendukung siswa Belajar dalam tim pada setiap pertemuan menggunakan Lembar
kerja Siswa (LKS) yang telah disusun sebanyak lima kegiatan, setiap tim mendapat
LKS yang sama untuk diselesaikan.
Pada saat diskusi tim berlangsung guru mengamati dan membimbing kelompok yang
mengalami kesulitan.
c.
Secara
individual, siswa diberi kuis mingguan atau dua mingguan tentang berbagai
materi akademis.
Setelah
satu atau dua kali pertemuan, siswa akan mengerjakan kuis individual. Para
siswa tidak diperbolehkan untuk saling membantu dalam mengerjakan kuis.
Sehingga, tiap siswa bertanggung jawab secara individu untuk memahami materinya.
d.
Kuis-kuis
tersebut diskor dan masing-masing individu diberi “skor kemajuan”. Skor
kemajuan bukan didasarkan pada absolut siswa, tetapi pada seberapa banyak skor
itu bertambah dari rata-rata skor sebelumnya.
Setelah
sekitar satu atau dua kali pertemuan setelah guru memberikan presentasi kelas,
para siswa akan mengerjakan kuis individual. Para siswa tidak tidak
diperbolehkan untuk saling membantu dalam mengerjakan kuis. Sehingga, tiap
siswa bertanggung jawab secara individu untuk memahami materinya.
Skor
kemajuan individual dapat dicapai apabila mereka bekerja lebih giat dan
memberikan kinerja yang lebih baik dari sebelumnya. Tiap siswa dapat memberikan
konstribusi poin yang maksimal kepada timnya dalam sistem skor ini, tetapi tidak ada siswa
yang dapat melakukannya tanpa memberikan usaha maksimal. Tiap siswa diberi skor
awal, selanjutnya akan mengumpulkan poin untuk tim mereka berdasarkan tingkat
kenaikan skor kuis mereka dibandingkan dengan skor awal.
Skor
kelompok dihitung didasarkan pada skor peningkatan anggota kelompok.
Keberhasilan kelompok dapat dievaluasi dari kumpulan poin peningkatan tiap
kelompok yang disumbangkan oleh anggotanya. Poin peningkatan dihitung berdasarkan hasil kuis. Kuis
diberikan kepada siswa dan dikerjakan secara individual setelah mereka
menyelesaikan tugas kelompok. Pemberian kuis harus dengan alokasi waktu yang
cukup bagi siswa untuk dapat menyelesaikannya.
Sebagai
motivasi, berdasarkan hasil kuis siswa dan perhitungan peningkatan poin
kelompok, wujud penghargaan bagi kelompok dapat diberikan dengan berbagai bentuk, seperti sertifikat,
laporan berkala kelas atau buletin yang dipajang. Isi semua bentuk tersebut
menguraikan tentang prestasi kelompok. Prestasi tersebut dapat diketahui dari
hasil perhitungan skor peningkatan kelompok berdasarkan kuis terdahulu.
Perhitungan skor peningkatan, dan kriteria
penghargaan kelompok menggunakan kriteria
seperti pada Tabel 6
berikut:
Tabel 6.
Perhitungan
nilai peningkatan dalam pembelajaran kooperatif
Skor
Tes Akhit
|
Nilai
Peningkatan
|
Lebih
dari 10 poin di bawah skor dasar
1
poin sampai dengan 10 poin di bawah skor dasar
Skor
awal hingga 10 poin di atas skor dasar
Lebih
dari 10 poin di atas skor dasar
Nilai
sempurna
|
5
10
20
30
30
|
Kriteria
penghargaan kelompok dalam pembelajaran kooperatif terdiri dari tiga tingkatan
penghargaan berdasarkan skor rata-rata kelompok atau tim seperti terliha pada
Tebel 7 berikut
Tabel 7.
Kriteria
penghargaan dalam pembelajaran kooperatif
Kriteria
(rata-rata tim)
|
Penghargaan
|
15
20
25
|
Baik
Hebat
Super
|
Berdasarkan
tabel 6 di atas seluruh tim dapat memperoleh penghargaan tersebut, di dalam
sebuah kelas dapat terjadi lebih dari atau tim mendapat penghargaan tim super,
tim hebat dan tim baik asalkan kriteria di atas terpenuhi.
Berdasarkan pendapat di atas, yang dimaksud dengan Student Team Achievement Division (STAD)
dalam penelitian ini adalah guru membagai siswa menjadi kelompok-kelompok kecil
yang terdiri dari empat sampai enam orang dan terdiri dari laki-laki dan
perempuan yang berasal dari siswa memiliki kemampuan tinggi, sedang, dan rendah dengan langkah-langkah:
Presentasi kelas, Belajar dalam tim, Kuis, Skor kemajuan individu, dan Penghargaan
kelompok.
3.
Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw
Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw pertama kali dikembangkan dan diujicobakan oleh Elliot
Aronson dan teman-teman di Universitas Texas pada tahun 1997, dan kemudian diadaptasi oleh Robert
E Slavin dan teman-teman di Universitas John Hopkins
Dalam teknik ini, guru memperhatikan skemata atau
latar belakang pengalaman siswa dan membantu siswa mengaktifkan skemata ini
agar bahan pelajaran menjadi lebih bermakna. Selain itu, siswa bekerja sama dengan
sesama siswa dalam suasana gotong royong dan mempunyai banyak kesempatan untuk
mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan berkomunikasi.
Menurut
Arends & Kilcher (2010: 316) bahwa pembelajaran Jigsaw,
Students start
out in heterogeneous home or base teams comprised of four or five members.
Members number off and then move to expert groups. Each expert group learns a
different part or aspect of the assigned topic. They read and discuss learning
materials provided by the teacher and help each other learn about their
assigned topic. They also decide how best to present the material to others
when their home teams reconvene. Each member of the team teaches their part to
other home team members. Following home team meetings and discussions, students
are tested independently on the material.
Maknanya adalah siswa mulai di kelompok
heterogen atau kelompok asal yang terdiri dari empat atau lima anggota. Nomor
anggota yang sama
dari tiap kelompok kemudian
pindah ke kelompok ahli. Setiap kelompok ahli belajar bagian yang berbeda atau
aspek dari topik yang ditugaskan. Mereka membaca dan mendiskusikan materi
pembelajaran yang diberikan oleh guru dan saling membantu belajar tentang topik
yang ditugaskan kepada mereka. Mereka juga memutuskan cara terbaik untuk
menyajikan materi kepada orang lain ketika tim berkumpul kembali ke
kelompok asal mereka. Setiap
anggota kelompok
mengajarkan bagian mereka kepada anggota kelompok
asal lainnya. Setelah pertemuan asal
dan diskusi, siswa diuji secara independen dengan
materi tersebut.
Arends (1997: 120) menjelaskan bahwa model pembelajaran
kooperatif tipe jigsaw dimana siswa-siswanya ditempatkan dalam tim yang
heterogen yang beranggotakan lima sampai enam orang dan materi disajikan kepada
siswa dalam bentuk teks, dan setiap siswa bertanggungjawab untuk mempelajari
salah satu materi yang kemudian para anggota dari tim yang berbeda bertemu
untuk belajar dan saling membantu dalam membicarakan materi yang sama (kelompok
ahli), kelompok ahli tersebut kembali ke tim asalnya. Arends
mengilustrasikan hubungan antara tim asal dan tim ahli pada gambar 2.
Kelompok Asal
Kelompok ahli
Gambar 2.
Hubungan tim
asal dan tim ahli dalam kooperatif tipe Jigsaw
Robert
E Slavin (2005: 122) menyatakan Pembelajaran kooperatif tipe jigsaw menjelaskan
bahwa:
In Jigsaw II, students work in heterogeneous teams, The
students are assigned chapters or other units to read, and are given “expert
sheets” that contain different topics for each team member to focus on when
reading. When every one has finished reading, students from different teams
with the same topic meet in an “expert group” to discuss their topic for about
thirty minutes. The experts then return to their teams and take turns teaching
their teammates about their topic. Finally students take assessments that cover
all the topics, and the quiz scores become team scores.
Dalam jigsaw II menjelaskan
bahwa para siswa bekerja dalam tim yang heterogen. Para siswa tersebut
diberikan tugas untuk membaca beberapa bab atau unit dan diberikan lembar ahli
yang terdiri atas topik-topik yang berbeda yang harus menjadi fokus perhatian
masing-masing anggota tim saat mereka membaca. Setelah semua anak selesai
membaca, siswa-siswa dari tim yang berbeda yang mempunyai fokus topik yang sama
bertemu dalam kelompok ahli untuk mendiskusikan topik mereka sekitar 30 menit.
Para ahli tersebut kemudian kembali kepada tim mereka dan secara bergantian
mengajari teman satu timnya mengenai topik mereka. Yang terakhir adalah para
siswa menerima penilaian yang mencakup seluruh topik, dan skor kuis akan
menjadi skor tim. Penskoran pada tipe jigsaw sama dengan penskoran pada tipe
STAD. Menurut Borich (2007: 389) menyatakan:
“In the cooperative learning activity
called jigsaw II, you assign students to 4 to 6 member teams to work on an
academic task broken into several subtask, depending on the number of group.
you assign students to teams and then assign a unique responsibility to teach
team member”.
Dalam kegiatan pembelajaran kooperatif
yang disebut jigsaw II, guru menetapkan siswa untuk 4-6 anggota tim untuk
bekerja pada tugas akademik dibagi menjadi beberapa subtask, tergantung pada
jumlah kelompok. Guru menetapkan siswa untuk tim dan kemudian menetapkan
tanggung jawab yang unik untuk mengajar anggota tim.
Dijelaskan juga dalam Persky
& Pollack (2009: 1) bahwa, “In the jigsaw
approach, which is framed around a given topic, learners are divided into small
groups with each group member responsible for learning a part of the overall
‘‘puzzle.’’ Students then learn about their part of the puzzle by meeting with
other students who have identical parts of the puzzle”. Dalam pendekatan jigsaw, yang dibingkai
sekitar suatu topik tertentu, peserta didik dibagi dalam kelompok-kelompok
kecil dengan masing-masing anggota kelompok yang bertanggung jawab untuk
mempelajari bagian dari keseluruhan teka-teki''. Siswa kemudian belajar tentang
bagian mereka dari teka-teki dengan bertemu dengan siswa yang lain yang
memiliki bagian-bagian teka-teki yang lain. Lebih lanjut diuraikan, “The jigsaw approach was used to provide
students with individual accountability as they had to teach other members of
their group what they learned while researching a problem”. Pendekatan
jigsaw digunakan untuk memberikan para siswa dengan akuntabilitas individu
karena mereka harus mengajar anggota lain dari kelompok mereka apa yang mereka
pelajari saat meneliti masalah
Slavin (2006: 258) menjelaskan bahwa pembelajaran kooperatif tipe jigsaw bahwa : “a cooperative learning model in which
students are assigned to six member teams to work on academic material that has
been broken down into sections for each member”. Model pembelajaran
kooperatif dimana siswa ditugaskan untuk enam anggota tim untuk bekerja pada
materi akademik yang telah dipecah menjadi beberapa bagian untuk setiap
anggota. Dalam kegiatan pembelajaran kooperatif yang disebut jigsaw
II, guru menetapkan siswa untuk 4 – 6 anggota tim untuk
bekerja pada tugas akademik dibagi menjadi beberapa subtask, tergantung pada
jumlah kelompok. Guru menetapkan siswa untuk tim dan kemudian menetapkan tanggung jawab
yang unik untuk mengajar anggota tim.
Teknik Jigsaw terdiri dari langkah-langkah dasar berikut
(Weidman & Bishop, 2009: 52-53): Setiap siswa dalam sebuah kelompok
"rumah" menerima subtopik; Subtopik ahli dari masing-masing kelompok
bertemu dalam grup "ahli" untuk bekerja sama dalam subtopik mereka; Para
ahli kembali ke kelompok asal mereka untuk mengajarkan subtopik mereka kepada
anggota lain; Setiap siswa mengalami penilaian peserta pada semua subtopik
Menurut Slavin (1995: 122) bahwa jigsaw II terdiri atas siklus regular dari
kegiatan-kegiatan pengajaran:
a. Membaca
Para siswa
menerima topic ahli dan membaca materi yang diminta untuk menemukan informasi.
b. Diskusi kelompok ahli
Para siswa
dengan keahlian yang sama bertemu untuk mendiskusikannya dalam
kelompok-kelompok ahli.
Kelompok ahli terdiri dari wakil-wakil dari kelompok asal.
Untuk mendukung siswa diskusi
dalam kelompok ahli
pada setiap pertemuan menggunakan Lembar
kerja Siswa (LKS) yang telah disusun sebanyak lima kegiatan tim ahli, setiap tim ahli mendapat kegiatan tim ahli yang berbeda
untuk diselesaikan. Pada saat
diskusi tim ahli berlangsung guru mengamati dan membimbing kelompok yang
mengalami kesulitan. Setelah menyelesaikan
diskusi pada kelompok ahli, setiap anggota kelompok ahli kembali kekelompok
asal untuk menjelaskan pada anggota kelompoknya.
c. Laporan tim
Para tim
kembali kekelompok mereka masing-masing untuk mengajari topik-topik mereka kepada teman satu timnya.
d. Tes
Para siswa
mengerjakan kuis-kuis individual yang mencakup semua topik.
e. Penghargaan kelompok
Skor tim
dihitung seperti dalam STAD
Berdasarkan pendapat diatas, yang
dimaksud dengan Jigsaw dalam
pembelajarannya menggunakan angkah-langkah
sebagai berikut:
a. Guru membagi suatu kelas menjadi beberapa kelompok,
dengan setiap kelompok terdiri dari 5 siswa
dengan kemampuan yang berbeda. Kelompok ini disebut kelompok asal. Jumlah
anggota dalam kelompok asal menyesuaikan dengan jumlah bagian materi pelajaran
yang akan dipelajari siswa sesuai dengan kompetensi yang akan dicapai.
b. Tipe Jigsaw ini, setiap siswa diberi tugas mempelajari
salah satu bagian materi pembelajaran tersebut. Semua siswa dengan materi
pembelajaran yang sama belajar bersama dalam kelompok yang disebut kelompok
ahli (Counterpart Group/CG). Dalam kelompok ahli, siswa mendiskusikan bagian
materi pembelajaran yang sama, serta menyusun rencana bagaimana menyampaikan
kepada temannya jika kembali ke kelompok asal.
c. Setelah siswa berdiskusi dalam kelompok ahli maupun
kelompok asal, selanjutnya dilakukan presentasi masing-masing kelompok atau
dilakukan pengundian salah satu kelompok untuk menyajikan hasil diskusi
kelompok yang telah dilakukan agar guru dapat menyamakan persepsi pada materi
pembelajaran yang telah didiskusikan.
d. Guru memberikan kuis untuk siswa secara individual.
e. Guru memberikan penghargaan pada kelompok melalui skor
penghargaan berdasarkan perolehan nilai peningkatan hasil belajar individual
dari skor dasar ke skor kuis berikutnya.
Perlu diperhatikan bahwa jika menggunakan Jigsaw untuk belajar materi
baru maka perlu dipersiapkan suatu
tuntunan dan isi materi yang runtut serta cukup sehingga tujuan pembelajaran
dapat tercapai, dan Materi sebaiknya secara alami dapat dibagi menjadi beberapa bagian
materi pembelajaran.Daaftar Pustaka.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar