Selasa, 20 Maret 2012

PEMBELAJARAN MATEMATIKA


Menurut Joyce, Weil & Calhoun (2004: 13) bahwa “In the process of learning, the mind stores information, organizes it, and revises previous conceptions. Learning is not just a process of taking in new information, ideas, and skills, but the new material is reconstructed by the mind”. Artinya bahwa dalam proses pembelajaran, pikiran memberikan informasi, mengolah dan memperbaiki konsep sebelumnya. Pembelajaran tidak hanya berupa proses memberikan informasi baru, ide dan keterampilan, tetapi dikonstruksi kembali dari materi baru. Peristiwa belajar mengajar terjadi apabila subyek di didik secara aktif berinteraksi dengan lingkungan belajar yang diatur oleh guru.
Menurut Nitko & Brokhart (2007: 18), “Instruction is the process you use to provide students with the conditions that help them achieve the learning targets”. Pembelajaran adalah proses yang digunakan untuk memberikan siswa kondisi yang membantu mereka mencapai target belajar.
Secada (1992: 648) menyatakan bahwa “Instruction refers to how curriculum gets enacted in the classroom”. Pernyataan ini mengadung makna bahwa pembelajaran merujuk pada bagaimana kurikulum diterapkan dalam kelas. Sedangkan dalam UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas bahwa pembelajaran adalah suatu proses atau kegiatan guru yang dirancang untuk menciptakan interaksi antara peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Mengetahui matematika adalah melakukan matematika. Dalam belajar matematika, perlu diciptakan situasi-situasi dimana siswa dapat aktif, kreatif, dan responsif secara fisik pada sekitar. Untuk belajar matematika siswa harus membangunnya untuk diri mereka, hanya dapat dilakukan dengan ekplorasi, membenarkan, menggambarkan, mendiskusikan, menguraikan, menyelidiki, dan pemecahan masalah (Countryman, 1992: 2). Matematika dibangun oleh manusia, sehingga dalam pembelajaran matematika, pengetahuan matematika dibangun oleh siswa. Pembelajaran matematika menjadi lebih efektif jika guru memfasilitasi siswa menemukan dan memecahkan masalah dengan menerapkan pembelajaran bermakna.
Dalam pembelajaran matematika, konsep yang akan dikonstruksi siswa sebaiknya dikaitkan dengan konteks nyata yang dikenal oleh siswa dan konsep yang dikonstruksi siswa ditemukan sendiri oleh siswa. Menurut Freudental (Gravemeijer, 1994: 20) matematika merupakan aktivitas insani (human activity) dan pembelajaran matematika  merupakan penemuan kembali. De lange (Sutarto Hadi, 2005: 19) proses penemuan kembali tersebut harus dikembangkan melalui penjelajahan berbagai persoalan dunia real. Masalah konteks nyata merupakan bagian inti dan dijadikan starting point dalam pembelajaran matematika (Gravemeijer, 1994: 123). Konstruksi pengetahuan oleh siswa dengan memperhatikan konteks berlangsung dalam proses yang oleh Freudenthal dinamakan reinvensi terbimbing (guided reinvention).
Pembelajaran matematika merupakan kegiatan eksplorasi mental dalam pikiran siswa. Proses rekonstruksi dan aplikasi konsep-konsep pengetahuan yang sebelumnya dipelajari siswa dimaksimalkan dalam upaya memperoleh konsep pengetahuan baru. Seperti yang dikemukakan Carpenter dan Lehrer (2009: 20) bahwa:
We propose five forms of mental activity from which mathematical understanding emerges: (a) constructing relationships, (b) extending and applying mathematical knowledge, (c) reflecting about experiences, (d) articulating what one knows, and (e) making mathematical knowledge one’s own.

Dari pernyataan di atas dapat dipahami bahwa ada lima bentuk kegiatan mental yang mengakibatkan munculnya pemahaman matematika, yakni: (a) membangun hubungan, (b) memperluas dan menerapkan pengetahuan matematika, (c) mencerminkan pengalaman terdahulu, (d) mengartikulasikan apa yang telah diketahui, dan (e) memperoleh sendiri pengetahuan matematikanya. Dalam hal ini kegiatan mental dalam pikiran siswa merupakan proses pembentukan pengetahuan baru dengan menghubungkan, memperluas, dan merefleksikan pengetahuan yang telah diketahui sebelumnya.
Pembelajaran matematika sebaiknya dimulai dari masalah kontekstual. Sutarto Hadi (2006: 10) menyatakan bahwa masalah kontekstual dapat digali dari: 1) situasi personal siswa, yaitu yang berkenaan dengan kehidupan sehari-hari siswa, 2) situasi sekolah/akademik, yaitu berkaitan dengan kehidupan akademik di sekolah dan kegiatan-kegiatan dalam proses pembelajaran siswa, 3) situasi masyarakat, yaitu yang berkaitan dengan kehidupan dan aktivitas masyarakat sekitar siswa tinggal, dan 4) situasi saintifik/matematik, yaitu berkenaan dengan sains atau matematika itu sendiri.
Terkait dengan aktivitas matematisasi dalam belajar matematika, Van Den Hauvel (1996: 11) menyebutkan dua jenis matematisasi, yaitu matematisasi horizontal dan vertical dengan penjelasan “Horizontal mathematization involves going from the world of life in to the world of symbol, while vertical mathematization means moving within the world of symbol”, pernyataan ini bermakna bahwa matematisasi horizontal meliputi transformasi masalah nyata/sehari-hari ke dalam bentuk simbol, sedangkan matematisasi vertikal merupakan proses yang terjadi dalam lingkup matematika itu sendiri.
Gravemeijer (1994: 93) mengemukakan bahwa dalam proses matematisasi horizontal, siswa belajar mematematisasi masalah-masalah kontekstual, pada mulanya siswa akan memecahkan masalah secara informal (menggunakan bahasa sendiri) kemudian setelah beberapa waktu  dengan proses pemecahan masalah yang serupa (melalui simplikasi dan formalisasi), siswa akan menggunakan bahasa yang lebih formal dan diakhiri dengan proses siswa akan menemukan suatu algoritma. Proses yang dilalui siswa sampai menemukan algoritma disebut matematisasi vertikal.
Menurut Sutarto Hadi (2005: 21) dalam matematisasi horizontal, siswa memulai dari masalah-masalah kontekstual mencoba menguraikan dengan bahasa simbol yang dibuat sendiri oleh siswa, kemudian menyelesaikan masalah kontekstual tersebut. Dalam proses ini setiap siswa dapat menggunakan cara mereka sendiri yang mungkin berbeda dengan siswa yang lain, sedangkan dalam matematisasi vertical, siswa juga mulai dari masalah-masalah kontekstual, tetapi dalam jangka panjang siswa dapat menyusun prosedur tertentu yang dapat digunakan untuk meyelesaikan masalah-masalah sejenis secara langsung. Contoh matematisasi horizontal adalah pengidentifikasian, perumusan, dan pemvisualisasian masalah dengan cara-cara yang berbeda oleh siswa. Contoh matematisasi vertikal adalah presentasi hubungan dalam rumus, menghaluskan dan meyesuaikan model matematika, penggunaan model-model matematikayang berbeda, perumusan matematika, dan penggeneralisasian.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika adalah suatu proses atau kegiatan guru yang dirancang untuk menciptakan interaksi antara peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Dalam pembelajaran matematika siswa akan mengkonstruksikan konsep matematika dengan cara sendiri melalui proses matematisasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar