Menurut
Joyce, Weil & Calhoun (2004: 13) bahwa “In
the process of learning, the mind stores information, organizes it, and revises
previous conceptions. Learning is not just a process of taking in new
information, ideas, and skills, but the new material is reconstructed by the
mind”. Artinya bahwa dalam proses pembelajaran, pikiran memberikan
informasi, mengolah dan memperbaiki konsep sebelumnya. Pembelajaran tidak hanya
berupa proses memberikan informasi baru, ide dan keterampilan, tetapi dikonstruksi
kembali dari materi baru. Peristiwa belajar mengajar terjadi apabila subyek di
didik secara aktif berinteraksi dengan lingkungan belajar yang diatur oleh
guru.
Menurut
Nitko & Brokhart (2007: 18), “Instruction
is the process you use to provide students with the conditions that help them
achieve the learning targets”. Pembelajaran adalah proses yang digunakan
untuk memberikan siswa kondisi yang membantu mereka mencapai target belajar.
Secada
(1992: 648) menyatakan bahwa “Instruction
refers to how curriculum gets enacted in the classroom”. Pernyataan ini
mengadung makna bahwa pembelajaran merujuk pada bagaimana kurikulum diterapkan
dalam kelas. Sedangkan dalam UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas,
pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber
belajar pada suatu lingkungan belajar.
Berdasarkan
pendapat para ahli di atas bahwa pembelajaran adalah suatu proses atau kegiatan
guru yang dirancang untuk menciptakan interaksi antara peserta didik dengan
pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar untuk mencapai tujuan
yang diharapkan.
Mengetahui
matematika adalah melakukan matematika. Dalam belajar matematika, perlu
diciptakan situasi-situasi dimana siswa dapat aktif, kreatif, dan responsif
secara fisik pada sekitar. Untuk belajar matematika siswa harus membangunnya
untuk diri mereka, hanya dapat dilakukan dengan ekplorasi, membenarkan,
menggambarkan, mendiskusikan, menguraikan, menyelidiki, dan pemecahan masalah
(Countryman, 1992: 2). Matematika dibangun oleh manusia, sehingga dalam
pembelajaran matematika, pengetahuan matematika dibangun oleh siswa.
Pembelajaran matematika menjadi lebih efektif jika guru memfasilitasi siswa
menemukan dan memecahkan masalah dengan menerapkan pembelajaran bermakna.
Dalam
pembelajaran matematika, konsep yang akan dikonstruksi siswa sebaiknya
dikaitkan dengan konteks nyata yang dikenal oleh siswa dan konsep yang
dikonstruksi siswa ditemukan sendiri oleh siswa. Menurut Freudental
(Gravemeijer, 1994: 20) matematika merupakan aktivitas insani (human activity) dan pembelajaran matematika
merupakan penemuan kembali. De lange (Sutarto Hadi, 2005: 19) proses
penemuan kembali tersebut harus dikembangkan melalui penjelajahan berbagai
persoalan dunia real. Masalah konteks nyata merupakan bagian inti dan dijadikan
starting point dalam pembelajaran
matematika (Gravemeijer, 1994: 123). Konstruksi pengetahuan oleh siswa dengan
memperhatikan konteks berlangsung dalam proses yang oleh Freudenthal dinamakan reinvensi terbimbing (guided reinvention).
Pembelajaran
matematika merupakan kegiatan eksplorasi mental dalam pikiran siswa. Proses
rekonstruksi dan aplikasi konsep-konsep pengetahuan yang sebelumnya dipelajari
siswa dimaksimalkan dalam upaya memperoleh konsep pengetahuan baru. Seperti
yang dikemukakan Carpenter dan Lehrer (2009: 20) bahwa:
We
propose five forms of mental activity from which mathematical understanding
emerges: (a) constructing relationships, (b) extending and applying
mathematical knowledge, (c) reflecting about experiences, (d) articulating what
one knows, and (e) making mathematical knowledge one’s own.
Dari
pernyataan di atas dapat dipahami bahwa ada lima bentuk kegiatan mental yang
mengakibatkan munculnya pemahaman matematika, yakni: (a) membangun hubungan,
(b) memperluas dan menerapkan pengetahuan matematika, (c) mencerminkan
pengalaman terdahulu, (d) mengartikulasikan apa yang telah diketahui, dan (e)
memperoleh sendiri pengetahuan matematikanya. Dalam hal ini kegiatan mental
dalam pikiran siswa merupakan proses pembentukan pengetahuan baru dengan
menghubungkan, memperluas, dan merefleksikan pengetahuan yang telah diketahui
sebelumnya.
Pembelajaran
matematika sebaiknya dimulai dari masalah kontekstual. Sutarto Hadi (2006: 10)
menyatakan bahwa masalah kontekstual dapat digali dari: 1) situasi personal
siswa, yaitu yang berkenaan dengan kehidupan sehari-hari siswa, 2) situasi
sekolah/akademik, yaitu berkaitan dengan kehidupan akademik di sekolah dan
kegiatan-kegiatan dalam proses pembelajaran siswa, 3) situasi masyarakat, yaitu
yang berkaitan dengan kehidupan dan aktivitas masyarakat sekitar siswa tinggal,
dan 4) situasi saintifik/matematik, yaitu berkenaan dengan sains atau
matematika itu sendiri.
Terkait
dengan aktivitas matematisasi dalam belajar matematika, Van Den Hauvel (1996:
11) menyebutkan dua jenis matematisasi, yaitu matematisasi horizontal dan vertical
dengan penjelasan “Horizontal
mathematization involves going from the world of life in to the world of
symbol, while vertical mathematization means moving within the world of
symbol”, pernyataan ini bermakna bahwa matematisasi horizontal meliputi
transformasi masalah
nyata/sehari-hari ke dalam bentuk simbol, sedangkan matematisasi vertikal
merupakan proses yang terjadi dalam lingkup matematika itu sendiri.
Gravemeijer
(1994: 93) mengemukakan bahwa dalam proses matematisasi horizontal, siswa belajar mematematisasi masalah-masalah
kontekstual, pada mulanya siswa akan memecahkan masalah secara informal
(menggunakan bahasa sendiri) kemudian setelah beberapa waktu dengan proses pemecahan masalah yang serupa
(melalui simplikasi dan formalisasi), siswa akan menggunakan bahasa yang lebih
formal dan diakhiri dengan proses siswa akan menemukan suatu algoritma. Proses yang
dilalui siswa sampai menemukan algoritma disebut matematisasi vertikal.
Menurut Sutarto Hadi (2005: 21) dalam
matematisasi horizontal, siswa
memulai dari masalah-masalah kontekstual mencoba menguraikan dengan bahasa
simbol yang dibuat sendiri oleh siswa, kemudian menyelesaikan masalah kontekstual
tersebut. Dalam proses ini setiap siswa dapat menggunakan cara mereka sendiri
yang mungkin berbeda dengan siswa yang lain, sedangkan dalam matematisasi vertical, siswa juga mulai
dari masalah-masalah kontekstual, tetapi dalam jangka panjang siswa dapat
menyusun prosedur tertentu yang dapat digunakan untuk meyelesaikan
masalah-masalah sejenis secara langsung. Contoh matematisasi horizontal adalah
pengidentifikasian, perumusan, dan pemvisualisasian masalah dengan cara-cara
yang berbeda oleh siswa. Contoh matematisasi vertikal adalah presentasi
hubungan dalam rumus, menghaluskan dan meyesuaikan model matematika, penggunaan
model-model matematikayang berbeda, perumusan matematika, dan
penggeneralisasian.
Berdasarkan pendapat para ahli
di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika adalah suatu proses
atau kegiatan guru yang dirancang untuk menciptakan interaksi antara peserta
didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar untuk
mencapai tujuan yang diharapkan. Dalam pembelajaran matematika siswa akan
mengkonstruksikan konsep matematika dengan cara sendiri melalui proses
matematisasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar