1.
Tinjauan Problem based Learning
Model
pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu model pembelajaran yang
menyajikan masalah sebagai titik awal untuk mempelajari suatu materi pelajaran.
Sebagai mana yang dikemukakan oleh Jonassen (2010: 154) yang menyatakan bahwa “PBL is an instructional strategy. That is,
it is an instructional solution designed to improve learning by requiring
students to learn content while solving problems.” Makna dari pernyataan
tersebut adalah pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu strategi
pembelajaran yang dirancang untuk meningkatkan pembelajaran dengan mewajibkan peserta
didik untuk mempelajari materi pelajaran sambil memecahkan masalah. Dari sini
dapat dipahami bahwa dalam pembelajaran dengan model pembelajaran berbasis masalah
materi pelajaran dipelajari dengan memecahkan masalah yang diberikan yang
berkaitan dengan materi yang sedang dipelajari tersebut.
Pembelajaran
berbasis masalah merupakan pembelajaran yang terfokus dan mengutamakan
pengalaman peserta didik. Trop dan Sage (2002: 15) menyatakan “problem based learning is focused,
experiental learning (minds-on, hand-on) organized around the investigation and
resolution of messy, real-world problem” bahwa pembelajaran berbasis
masalah merupakan pembelajaran yang terfokus dan pembelajaran dari pengalaman
yang terorganisasi melalui investigasi dan merupakan resolusi masalah-masalah
dunia nyata. Jadi permasalahan yang disajikan dalam proses pembelajaran
berbasis masalah benar-benar adalah permasalahan yang sering ditemui peserta
didik dalam kehidupan sehari-hari.
Masalah digunakan sebagai wadah untuk mempelajari suatu materi
pelajaran. Seperti yang diungkapkan Uden dan Beaumont
(2006: 25) yang menyatakan “PBL is an
instructional approach that uses problems as a context for students to acquire
problem-solving skills and knowledge” bahwa pembelajaran berbasis masalah
adalah suatu model pembelajaran yang menggunakan masalah sebagai konteks bagi peserta
didik untuk memperoleh keterampilan pemecahan masalah dan memperoleh pengetahuan.
Jadi dengan disajikannya masalah, peserta didik akan menyelesaikannya dan
memperoleh pengetahuan dan keterampilan pemecahan masalah karena telah mampu
menyelesaikan masalah yang disajikan tersebut.
Model pembelajaran berbasis masalah terdiri dari beberapa
tahap. Arends dan Kilcher (2010: 333) mengemukakan bahwa tahap-tahap
pelaksanaan model pembelajaran berbasis masalah terdiri dari (1) penyajian
masalah (presenting the problem), (2)
perencanaan penyelidikan (planning the
investigation), (3) melakukan penyelidikan (conducting the investigation), (4) mendemonstrasikan pembelajaran (demonstrating learning), (5)
merefleksikan dan tanya jawab (reflecting
and debriefing). Dari sini terlihat bahwa tahap pertama dari model
pembelajaran adalah penyajian masalah yang kemudian akan diselesaikan peserta
didik. Dengan menyelesaikan masalah yang disajikan tersebut, diharapkan peserta
didik dapat belajar dan memperoleh pengetahuan dan keterampilan dalam
memecahkan suatu masalah.
Dalam proses pemecahan masalah yang disajikan, peserta didik
tidak hanya terpaku di ruang kelas, di depan buku catatan, tetapi peserta didik
dimungkinkan untuk mencari sumber belajar di luar kelas dan membawa masalah
tersebut hingga ke rumah atau ke lingkungan masyarakat. Sebagai mana yang diungkapkan
Uden dan Beaumont (2006: 35) bahwa:
Students in PBL need to move away from a search for a
solution for a problem, to identifying what they have to learn and how they can
best learn to solve a given problem. They need to know how to identify the necessary
information that they need to learn, where to get that information, and how to
use the information to solve the problem.
Dari apa yang dikemukakan di atas dapat dipahami bahwa dalam
pembelajaran berbasis masalah peserta didik dimungkinkan untuk ”pergi jauh”
mencari pemecahan suatu masalah, mengidentifikasi apa yang telah mereka
pelajari dan bagaimana mereka dapat belajar dengan baik untuk memecahkan
masalah yang diberikan. Peserta didik perlu tahu bagaimana mengidentifikasi
informasi penting yang mereka butuhkan untuk belajar, di mana mendapatkan
informasi itu, dan bagaimana menggunakan informasi tersebut untuk memecahkan
masalah. Dalam hal ini peserta didik benar-benar dilatih untuk mandiri. Mereka
mengidentifikasi diri sendiri seberapa paham mereka pada masalah tersebut, apa
yang harus mereka ketahui agar dapat memecahkan masalah tersebut, metode apa
yang akan mereka gunakan, dan bagaimana strategi memecahkan masalah tersebut.
Peran guru di sini hanya mengotrol dan memastikan peserta didik telah bekerja
sesuai yang dikehendaki, dan hanya membantu bila benar-benar diperlukan.
Ada beberapa karakteristik yang menjadi ciri khas dari model
pembelajaran berbasis masalah. Jonassen (2010: 154) mengemukakan karakteristik
model pembelajaran berbasis masalah adalah sebagai berikut:
a.
Problem-focused, peserta didik mulai belajar dengan simulasi mengatasi suatu masalah otentik yang terstruktur. Proses pembelajaran selalu dimulai dengan guru yang
menyajikan masalah yang otentik untuk dipecahkan peserta didik.
b.
Student-centered, proses pembelajaran berpusat pada peserta didik. Bagaimana
mempelajari suatu materi pelajaran diputuskan oleh peserta didik sendiri. Pihak sekolah tidak bisa mendikte proses pembelajaran,
tetapi hanya mengarahkan agar proses pembelajaran dapat terlaksana dengan baik. Peran guru hanya mengamati, memfasilitasi peserta didik
untuk memecahkan masalah, dan bila benar-benar diperlukan akan membantu peserta
didik yang kesulitan memecahkan masalah yang disajikan tersebut.
c.
Self-directed, dimana peserta didik secara individu dan bersama-sama memikul tanggung
jawab untuk menentukan isu-isu dan menentukan proses pembelajaran melalui
evaluasi diri dan penilaian teman sejawat dan menentukan akses bahan belajar
mereka sendiri.
d.
Self-reflective, dalam hal ini peserta didik memantau pemahaman
mereka sendiri dan belajar untuk menyesuaikan strategi yang sesuai bagi dirinya
agar dapat belajar dengan baik. Tentang self-reflective
ini, Chamberlin (2009: 158) menyatakan “ideally,
reflecting will encourage students to seek additional solutions to problems
rather than just accepting the first ‘standard’ solution to a problem”
bahwa idealnya, refleksi akan mendorong peserta didik untuk mencari solusi
tambahan untuk masalah yang dihadapi daripada hanya meng-iya-kan solusi yang
telah ditentukan sebelumnya. Jadi setelah melakukan penyelidikan terhadap
masalah yang disajikan dan menemukan formula pemecahan masalah tersebut, peserta
didik mengecek kembali kebenaran fomula pemecahan masalah yang telah ditemukan.
Dan peserta didik diharapkan bukan hanya mengecek kebenaran formula pemecahan
masalah yang telah mereka temukan, tetapi memikirkan apakah masih terdapat
kemungkinan formula-formula yang lain yang juga dapat menjadi pemecahan masalah
yang disajikan tersebut.
Seperti model pembelajaran
yang lain, dalam model pembelajaran berbasis masalah, terdapat langkah-langkah
yang harus ditempuh. Jonassen (2010: 154) mengemukakan langkah-langkah
pembelajaran berbasis masalah meliputi hal-hal berikut:
a.
Peserta didik dalam
kelompok lima sampai delapan orang dihadapkan pada suatu masalah. Mereka
berusaha untuk mendefinisikan dan membatasi masalah serta menetapkan tujuan
pembelajaran dengan melakukan identifikasi apa yang telah mereka ketahui, apa
hipotesis atau dugaan yang mereka bisa pikirkan, apa yang mereka butuhkan untuk
dipelajari agar lebih memahami permasalahan, dan kegiatan belajar yang
bagaimana yang mereka perlukan serta siapa yang akan membimbing mereka untuk
melakukan hal tersebut.
b.
Selama self-directed,
masing-masing peserta didik menyelesaikan tugas-tugas mereka untuk memahami
masalah dan solusi-solusi yang mungkin dapat menjadi pemecahan dari masalah
tersebut. Mereka mengumpulkan dan mempelajari berbagai informasi dan menyiapkan
laporan pada kelompoknya.
c.
Peserta didik kemudian
berbagi dengan kelompoknya apa yang telah mereka peroleh dan menelaah kembali
masalah yang dihadapi, menghasilkan hipotesis tambahan dan menolak hipotesis
yang lain berdasarkan apa yang telah mereka pelajari.
d.
Pada akhir periode pembelajaran
(biasanya satu minggu), peserta didik meringkas dan mengintegrasikan
pembelajaran mereka.
Jadi
model pembelajaran berbasis masalah selalu diawali dengan menyajikan masalah,
kemudian melakukan penyelidikan, dan diakhiri dengan penemuan solusi sebagi
pemecahan masalah. Sejalan dengan itu, Chamberlin (2009: 156) menyatakan bahwa: Students
engaging in PBL tasks go through several steps: meeting the problem, defining
the problem, gathering facts about the problem, hypothesizing solutions to the
problem, researching the problem, rephrasing the problem, generating
alternative solutions, and advocating solutions to the problem.
Dari
pernyataan di atas dapat dipahami bahwa pembelajaran berbasis masalah yang
melibatkan peserta didik mempunyai beberapa langkah, yaitu: mempertemukan
masalah, mendefinisi masalah, mengumpulkan fakta-fakta tentang masalah,
menentukan hipotesis solusi untuk pemecahan masalah, meneliti masalah,
mengulang masalah, menghasilkan solusi alternatif, dan mengajukan solusi
terhadap masalah. Dengan mengemukakan masalah diawal proses pembelajaran, maka peserta
didik diharapkan tertantang untuk menggunakan seluruh pengetahuan dan
pengalaman yang dimilikinya untuk memecahkan masalah tersebut.
Peserta
didik membentuk kelompok-kelompok yang memungkinkan mereka untuk bekerja sama
dengan teman kelompoknya dan berbagi tugas antar anggota kelompok sehingga
masalah dapat dipecahkan. Savin-Baden dan Major (2004: 86) mengemukakan bahwa
dalam sebuah kelompok yang terbentuk untuk menemukan pemecahan suatu masalah,
masing-masing individu dalam kelompok tersebut berbagi peran dalam kelompok,
yakni sebagai:
a.
facilitator, yang
mengontrol, menjaga kelompok agar tetap fokus pada tugas dan meyakinkan semua
anggota kelompok bekerja sesuai dengan perannya dan memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam
penyelidikan dan pembelajaran.
b.
researcher, yang
menemukan bahan belajar atau kebutuhan lain yang yang dibutuhkan oleh kelompok
dalam melakukan penyelidikan untuk memecahkan masalah yang diberikan.
c.
encourager, yang
memperkuat kontribusi anggota kelompok, mendorong setiap anggota kelompok untuk
bekerja dengan sungguh-sungguh sesuai perannya.
d.
timekeeper, yang
memonitor waktu, selama kelompok bekerja sehingga mereka dapat menyelesaikan
tugas dalam waktu yang tersedia dan mengambil alih peran dari setiap anggota
kelompok yang hilang jika tidak ada anggota wildcard.
e.
recorder, yang
mencatat perkembangan kegiatan kelompok, mulai dari persiapan, pelaksanaan
penyelidikan, diskusi kelompok, termasuk kendala-kendala yang dihadapi, dan
menyiapkan
kesimpulan
tertulis.
f.
checker, yang
memastikan bahwa semua anggota kelompok memahami konsep dan kesimpulan kelompok
yang telah disepakati.
g.
wildcard, anggota
yang berperan sebagai cadangan, yang akan menggantikan peran setiap anggota
kelompok yang hilang.
Model
pembelajaran berbasis masalah memiliki beberapa keunggulan. Salah satunya
adalah pengetahuan yang diperoleh akan lebih dihayati dan lebih lama bertahan
di ingatan peserta didik. Ini seperti yang dikemukakan Uden dan Beaumont (2006:
31) yang menyatakan “PBL students retain
knowledge much longer than students taught using traditional teaching, although
their learning may be less than that of traditional students” bahwa
meskipun dengan waktu belajar yang relatif lebih singkat, namun peserta didik
yang belajar dengan model pembelajaran berbasis masalah mempertahankan
pengetahuan yang mereka pelajari lebih lama dibanding peserta didik yang
belajar dengan model pembelajaran tradisional. Hal ini dapat terjadi karena
dalam pembelajaran berbasis masalah, peserta didik tidak hanya mengamati apa
yang diperagakan, dan mendengarkan apa yang dikatakan guru, menulisnya di buku
catatan, tetapi peserta didik yang melakukan, peserta didik yang menyelidiki
sendiri masalah yang diberikan, dan menemukan sendiri pemecahannya. Dengan
mengalami dan melakukannya sendiri, maka pengetahuan yang diperoleh akan lebih
bertahan lama dan sulit untuk dilupakan.
Model
pembelajaran berbasis masalah juga dapat melatih peserta didik untuk
meningkatkan kemampuannya dalam pemecahan masalah. Arends (1997: 158)
menyatakan “problem-based learning helps
students develop their thinking and problem solving skills, learn authentic
adult roles, and become independent learners” bahwa pembelajaran dengan
model pembelajaran berbasis masalah membantu peserta didik mengembangkan
keterampilan berpikir dan keterampilan pemecahan masalah, mempelajari
peran-peran orang dewasa, dan menjadi pelajar yang mandiri. Dalam hal ini model
pembelajaran berbasis masalah membantu peserta didik untuk memproses informasi
yang sudah jadi dalam benaknya dan menyususn pengetahuan mereka sendiri. Selain
itu peserta didik juga dilatih untuk menjadi dewasa dan menjadi pembelajar yang
mandiri dalam kehidupannya kelak.
Keunggulan
lain dari model pembelajaran berbasis masalah adalah kemandirian dan tingginya
motivasi belajar yang terbentuk pada diri peserta didik. Savin-Baden dan Major
(2004: 82) mengemukakan bahwa beberapa perubahan dramatis peserta didik dalam
pembelajaran berbasis masalah adalah:
a.
Awalnya dari pendengar
yang pasif, sekedar mengamati dan mencatat apa yang diajarkan guru, menjadi
pemecah masalah yang aktif, mampu menjadi kontributor dan pembahas suatu
masalah. Dengan model pembelajaran berbasis masalah, peserta didik tidak hanya
mendengarkan dan mengamati apa yang dikatakan dan dilakukan guru, tidak hanya
mencatatnya di buku catatan dan menghafalkannya, tetapi melakukan penyelidikan
untuk mencari pemecahan suatu masalah yang diberikan, menemukan pemecahannya,
dan mampu untuk mempresentasikan hasil temuannya.
b.
Awalnya seorang peserta
didik yang tidak berani mengungkapkan pendapat dan memilih mengambil sikap
“cari aman” dengan resiko yang paling kecil, berubah menjadi seorang yang
berani mengungkapkan dan mempertahankan pendapatnya dengan segala kemungkinan
resiko yang akan ditanggungnya. Hal ini dapat terjadi karena peserta didik
tidak hanya mendengar atau melihat suatu pemecahan masalah dari apa yang
dikatakan atau dilakukan guru, tetapi peserta didik sendirilah yang menemukan
pemecahan masalah tersebut melalui penyelidikan-penyelidikan yang dilakukannya.
Dengan melakukan penyelidikan sendiri dan menemukan sendiri, peserta didik
lebih “yakin” akan kebenaran apa yang ditemukannya sehingga tidak ada
keragu-raguan untuk mempertahankan jawabannya.
c.
Awalnya seseorang yang
menempatkan keberadaannya karena pilihan pribadinya sendiri menjadi seseorang
yang menempatkan dirinya untuk memenuhi harapan masyarakat. Peserta didik yang
awalnya enggan untuk menempatkan dirinya sebagai andalan bagi teman-temannya
karena merasa kemampuannya tidak memadai, menjadi lebih berani untuk memenuhi
harapan teman-temannya dan bahu-membahu dengan teman-temannya dalam menyelesaikan
masalah yang diberikan karena merasa telah “lebih berisi” dan lebih mampu dalam
memecahkan masalah dibanding sebelumnya.
d.
Awalnya dari peserta
didik yang individualis dengan mengedepankan persaingan dengan teman-teman
kelasnya menjadi peserta didik yang aktif bekerja bersama dengan
teman-temannya, saling membagi pengetahuan dan membagi tugas-tugas untuk
menemukan pemecahan suatu masalah. Dalam hal ini sifat keegoan peserta didik
menurun dan peserta didik lebih menonjolkan sifat kolaboratif untuk bekerjasama
dengan teman-temannya yang lain dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi
sehingga proses pembelajaran dapat berlangsung kondusif.
e.
Awalnya dari peserta
didik yang belajar secara independen dan memikul tanggung jawab masing-masing
menjadi peserta didik-peserta didik yang belajar secara interdependen dengan
tanggung jawab kelompok. Ini terjadi karena dalam proses pembelajaran berbasis
masalah peserta didik dimungkinkan untuk berkolaborasi dengan peserta didik
yang lain dengan tujuan mencari pemecahan suatu masalah yang mereka hadapi.
f.
Peserta didik yang
awalnya hanya berpatokan pada guru dan buku pelajaran sebagai sumber ilmu
pengetahuan, menjadi peserta didik yang memanfaatkan berbagai sumber belajar.
Ini dapat terjadi karena dalam pembelajaran berbasis masalah, peserta didik
dimungkinkan untuk melakukan investigasi dalam upayanya mencari pemecahan suatu
masalah yang disajikan dengan memanfaatkan berbagai sumber belajar, seperti
merefleksi dari pengalaman sendiri, melihat apa yang dilakukan temannya, dan
terjun langsung ke masyarakat sebagai sumber belajar tambahan dalam memperoleh
ilmu pengetahuan.
Model
pembelajaran berbasis masalah adalah pembelajaran yang menjadikan masalah
sebagai wadah bagi peserta didik
untuk belajar dan memperoleh ilmu pengetahuan. Proses pembelajaran dengan model
pembelajaran berbasis masalah diawali dengan menyajikan masalah untuk
diselidiki peserta didik,
dan diakhiri dengan penemuan solusi pemecahan masalah. Peserta didik lebih aktif dan
termotivasi dalam mengikuti proses pembelajaran dengan melakukan penyelidikan
untuk memecahkan masalah yang diberikan. Peran guru hanya memfasilitasi,
memediasi, dan hanya akan membantu peserta didik bila benar-benar diperlukan.
2.
Contoh Pembelajaran Berbasis Masalah
Memulai
pembelajaran dengan pembelajaran
berbasis masalah untuk menemukan rumus luas
persegi panjang dan menentukan atau menghitung luas bangun berbentuk persegi
panjang siswa diberikan permasalah yang akan diselesaikan secara berkelompok
seperti contoh berikut:
1.
Guru
mengajak siswa menghitung luas lantai
yang dibatasi dengan tali membentuk
persegi panjang dengan menghitung banyaknya ubin yang dibatasi oleh tali tersebut
2. Guru dapat menggambarkan persegi panjang yang dilantai pada papan
tulis atau guru menggambarkannya pada lembar kertas yang telah disiapkan guru
sebelumnya. Selanjutnya siswa disuruh menghitung luas persegi panjang apabila 1 ubin merupakan satu
satuan luas.
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
3.
Guru
memberikan kebebasan pada siswa untuk menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri untuk mendapatkan luas
persegi panjang. Kemudian guru meminta
masing-masing kelompok untuk menuliskan
jawabannya dipapan tulis dan sekaligus mengkomunikasikan dengan kelompok
lain dari mana jawaban tersebut
diperoleh atau alasannya mendapatkan
jawaban tersebut. Maka alternatif jawaban siswa adalah sebagai berikut.
· Alternatif
1
Dengan membilang satu persatu persegi satuan, maka diperoleh
jawaban siswa: Luas = 45
satuan luas
· Alternatif
2
Dengan menjumlahkan persegi satuan pada tiap-tiap kolom, maka
diperoleh jawaban siswa: Luas =
(5+5+5+5+5+5+5+5+5) satuan luas = 45 satuan luas
· Alternatif
3
Dengan menjumlahkan persegi satuan pada tiap-tiap baris, maka diperoleh jawaban siswa: Luas = (9+9+9+9+9)
satuan = 45 satuan luas
Dengan menjumlah persegi satuan pada tiap-tiap baris, kemudian
siswa mengubahnya dalam kalimat
perkalian, maka diperoleh jawaban siswa:
Luas = (9+9+9+9+9) satuan luas = 45 satuan luas
Luas = 5 x 9 = 45 satuan luas (9 nya ada 5 dituliskan 5 x 9 dan 45
diperoleh dari hasil perhitungan banyaknya persegi satuan pada persegi panjang)
· Alternatif
4
Dengan langsung mengalikan banyaknya kolom dan baris atau
mengalikan baris dan kolom, maka diperoleh jawaban siswa: Luas = 9 x 5 = 45
satuan luas atau Luas = 5 x 9 = 45 satuan luas
4. Guru harus dapat menyikapi jawaban siswa yang salah maupun yang
benar. Apabila jawaban siswa salah guru
tidak boleh langsung menyalahkan tetapi
harus melihat alasan jawaban dari siswa, baru dari jawaban siswa ini siswa digiring atau
dimotivasi kepada jawaban yang benar.
Untuk alternatif semua jawaban
yang benar seperti contoh diatas, maka guru membenarkan semua jawaban, kemudian
guru memberi kesempatan berpikir siswa
dari semua alternatif jawaban yang benar, jawaban mana yang paling mudah dan
gampang dikerjakan. Guru perlu
mendengarkan jawaban siswa dan memberikan gambaran pada siswa yang bisa menjadi
pertimbangan pada siswa. Sebagai contoh: ”Andaikan kita disuruh menghitung luas
ruangan kelas kita yang diketahui panjang dan lebarnya, apakah kita harus
menghitung satu persatu ubin yang ada?
(sambil menunjuk jawaban alternatif 1) atau kita harus banyaknya ubin untuk setiap baris dan
kolomnya? (sambil menunjuk jawaban alternatif 2 dan 3). Bagaimana dengan jawaban
pada alternatif 4?”. Guru kemudian memperluas permasalahan: ”Bagaimana kalau kita disuruh menghitung luas halaman
sekolah atau luas ruang kelas sekolah kita?”. Nah tentunya untuk mempermudah
kita menghitungnya kita perlu mencari
cara, yaitu dengan menemukan cara atau rumus menghitung luas persegi panjang
atau persegi (ini merupakan cara guru membawa siswa dari matematika horisontal
kepada matematika vertikalnya).
5.
Langkah 5
Bertitik tolak dari
jawaban siswa (jawaban alternatif 1, 2 dan 3), guru mengajak siswa menemukan
rumus luas persegi panjang. Sebagai contoh seperti berikut ini.
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Luas = 45 satuan luas, dapat
diperoleh dari mengalikan banyaknya satuan panjang dengan satuan lebar, maka
diperoleh rumus luas persegi panjang adalah:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar