Selasa, 20 Maret 2012

Problem Based Learning


1.      Tinjauan Problem based Learning
Model pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu model pembelajaran yang menyajikan masalah sebagai titik awal untuk mempelajari suatu materi pelajaran. Sebagai mana yang dikemukakan oleh Jonassen (2010: 154) yang menyatakan bahwa “PBL is an instructional strategy. That is, it is an instructional solution designed to improve learning by requiring students to learn content while solving problems.” Makna dari pernyataan tersebut adalah pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu strategi pembelajaran yang dirancang untuk meningkatkan pembelajaran dengan mewajibkan peserta didik untuk mempelajari materi pelajaran sambil memecahkan masalah. Dari sini dapat dipahami bahwa dalam pembelajaran dengan model pembelajaran berbasis masalah materi pelajaran dipelajari dengan memecahkan masalah yang diberikan yang berkaitan dengan materi yang sedang dipelajari tersebut.
Pembelajaran berbasis masalah merupakan pembelajaran yang terfokus dan mengutamakan pengalaman peserta didik. Trop dan Sage (2002: 15) menyatakan “problem based learning is focused, experiental learning (minds-on, hand-on) organized around the investigation and resolution of messy, real-world problem” bahwa pembelajaran berbasis masalah merupakan pembelajaran yang terfokus dan pembelajaran dari pengalaman yang terorganisasi melalui investigasi dan merupakan resolusi masalah-masalah dunia nyata. Jadi permasalahan yang disajikan dalam proses pembelajaran berbasis masalah benar-benar adalah permasalahan yang sering ditemui peserta didik dalam kehidupan sehari-hari.
Masalah digunakan sebagai wadah untuk mempelajari suatu materi pelajaran. Seperti yang diungkapkan Uden dan Beaumont (2006: 25) yang menyatakan “PBL is an instructional approach that uses problems as a context for students to acquire problem-solving skills and knowledge” bahwa pembelajaran berbasis masalah adalah suatu model pembelajaran yang menggunakan masalah sebagai konteks bagi peserta didik untuk memperoleh keterampilan pemecahan masalah dan memperoleh pengetahuan. Jadi dengan disajikannya masalah, peserta didik akan menyelesaikannya dan memperoleh pengetahuan dan keterampilan pemecahan masalah karena telah mampu menyelesaikan masalah yang disajikan tersebut.
Model pembelajaran berbasis masalah terdiri dari beberapa tahap. Arends dan Kilcher (2010: 333) mengemukakan bahwa tahap-tahap pelaksanaan model pembelajaran berbasis masalah terdiri dari (1) penyajian masalah (presenting the problem), (2) perencanaan penyelidikan (planning the investigation), (3) melakukan penyelidikan (conducting the investigation), (4) mendemonstrasikan pembelajaran (demonstrating learning), (5) merefleksikan dan tanya jawab (reflecting and debriefing). Dari sini terlihat bahwa tahap pertama dari model pembelajaran adalah penyajian masalah yang kemudian akan diselesaikan peserta didik. Dengan menyelesaikan masalah yang disajikan tersebut, diharapkan peserta didik dapat belajar dan memperoleh pengetahuan dan keterampilan dalam memecahkan suatu masalah.
Dalam proses pemecahan masalah yang disajikan, peserta didik tidak hanya terpaku di ruang kelas, di depan buku catatan, tetapi peserta didik dimungkinkan untuk mencari sumber belajar di luar kelas dan membawa masalah tersebut hingga ke rumah atau ke lingkungan masyarakat. Sebagai mana yang diungkapkan Uden dan Beaumont (2006: 35) bahwa:
Students in PBL need to move away from a search for a solution for a problem, to identifying what they have to learn and how they can best learn to solve a given problem. They need to know how to identify the necessary information that they need to learn, where to get that information, and how to use the information to solve the problem.

Dari apa yang dikemukakan di atas dapat dipahami bahwa dalam pembelajaran berbasis masalah peserta didik dimungkinkan untuk ”pergi jauh” mencari pemecahan suatu masalah, mengidentifikasi apa yang telah mereka pelajari dan bagaimana mereka dapat belajar dengan baik untuk memecahkan masalah yang diberikan. Peserta didik perlu tahu bagaimana mengidentifikasi informasi penting yang mereka butuhkan untuk belajar, di mana mendapatkan informasi itu, dan bagaimana menggunakan informasi tersebut untuk memecahkan masalah. Dalam hal ini peserta didik benar-benar dilatih untuk mandiri. Mereka mengidentifikasi diri sendiri seberapa paham mereka pada masalah tersebut, apa yang harus mereka ketahui agar dapat memecahkan masalah tersebut, metode apa yang akan mereka gunakan, dan bagaimana strategi memecahkan masalah tersebut. Peran guru di sini hanya mengotrol dan memastikan peserta didik telah bekerja sesuai yang dikehendaki, dan hanya membantu bila benar-benar diperlukan.
Ada beberapa karakteristik yang menjadi ciri khas dari model pembelajaran berbasis masalah. Jonassen (2010: 154) mengemukakan karakteristik model pembelajaran berbasis masalah adalah sebagai berikut:
a.       Problem-focused, peserta didik mulai belajar dengan simulasi  mengatasi  suatu masalah otentik yang terstruktur. Proses pembelajaran selalu dimulai dengan guru yang menyajikan masalah yang otentik untuk dipecahkan peserta didik.
b.      Student-centered, proses pembelajaran berpusat pada peserta didik. Bagaimana mempelajari suatu materi pelajaran diputuskan oleh peserta didik sendiri. Pihak sekolah tidak bisa mendikte proses pembelajaran, tetapi hanya mengarahkan agar proses pembelajaran dapat terlaksana dengan baik. Peran guru hanya mengamati, memfasilitasi peserta didik untuk memecahkan masalah, dan bila benar-benar diperlukan akan membantu peserta didik yang kesulitan memecahkan masalah yang disajikan tersebut.
c.       Self-directed, dimana peserta didik secara individu dan bersama-sama memikul tanggung jawab untuk menentukan isu-isu dan menentukan proses pembelajaran melalui evaluasi diri dan penilaian teman sejawat dan menentukan akses bahan belajar mereka sendiri.
d.      Self-reflective, dalam hal ini peserta didik memantau pemahaman mereka sendiri dan belajar untuk menyesuaikan strategi yang sesuai bagi dirinya agar dapat belajar dengan baik. Tentang self-reflective ini, Chamberlin (2009: 158) menyatakan “ideally, reflecting will encourage students to seek additional solutions to problems rather than just accepting the first ‘standard’ solution to a problem” bahwa idealnya, refleksi akan mendorong peserta didik untuk mencari solusi tambahan untuk masalah yang dihadapi daripada hanya meng-iya-kan solusi yang telah ditentukan sebelumnya. Jadi setelah melakukan penyelidikan terhadap masalah yang disajikan dan menemukan formula pemecahan masalah tersebut, peserta didik mengecek kembali kebenaran fomula pemecahan masalah yang telah ditemukan. Dan peserta didik diharapkan bukan hanya mengecek kebenaran formula pemecahan masalah yang telah mereka temukan, tetapi memikirkan apakah masih terdapat kemungkinan formula-formula yang lain yang juga dapat menjadi pemecahan masalah yang disajikan tersebut.
Seperti model pembelajaran yang lain, dalam model pembelajaran berbasis masalah, terdapat langkah-langkah yang harus ditempuh. Jonassen (2010: 154) mengemukakan langkah-langkah pembelajaran berbasis masalah meliputi hal-hal berikut:
a.       Peserta didik dalam kelompok lima sampai delapan orang dihadapkan pada suatu masalah. Mereka berusaha untuk mendefinisikan dan membatasi masalah serta menetapkan tujuan pembelajaran dengan melakukan identifikasi apa yang telah mereka ketahui, apa hipotesis atau dugaan yang mereka bisa pikirkan, apa yang mereka butuhkan untuk dipelajari agar lebih memahami permasalahan, dan kegiatan belajar yang bagaimana yang mereka perlukan serta siapa yang akan membimbing mereka untuk melakukan hal tersebut.
b.      Selama self-directed, masing-masing peserta didik menyelesaikan tugas-tugas mereka untuk memahami masalah dan solusi-solusi yang mungkin dapat menjadi pemecahan dari masalah tersebut. Mereka mengumpulkan dan mempelajari berbagai informasi dan menyiapkan laporan pada kelompoknya.
c.       Peserta didik kemudian berbagi dengan kelompoknya apa yang telah mereka peroleh dan menelaah kembali masalah yang dihadapi, menghasilkan hipotesis tambahan dan menolak hipotesis yang lain berdasarkan apa yang telah mereka pelajari.
d.      Pada akhir periode pembelajaran (biasanya satu minggu), peserta didik meringkas dan mengintegrasikan pembelajaran mereka.
Jadi model pembelajaran berbasis masalah selalu diawali dengan menyajikan masalah, kemudian melakukan penyelidikan, dan diakhiri dengan penemuan solusi sebagi pemecahan masalah. Sejalan dengan itu, Chamberlin (2009: 156) menyatakan bahwa: Students engaging in PBL tasks go through several steps: meeting the problem, defining the problem, gathering facts about the problem, hypothesizing solutions to the problem, researching the problem, rephrasing the problem, generating alternative solutions, and advocating solutions to the problem.
Dari pernyataan di atas dapat dipahami bahwa pembelajaran berbasis masalah yang melibatkan peserta didik mempunyai beberapa langkah, yaitu: mempertemukan masalah, mendefinisi masalah, mengumpulkan fakta-fakta tentang masalah, menentukan hipotesis solusi untuk pemecahan masalah, meneliti masalah, mengulang masalah, menghasilkan solusi alternatif, dan mengajukan solusi terhadap masalah. Dengan mengemukakan masalah diawal proses pembelajaran, maka peserta didik diharapkan tertantang untuk menggunakan seluruh pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya untuk memecahkan masalah tersebut.
Peserta didik membentuk kelompok-kelompok yang memungkinkan mereka untuk bekerja sama dengan teman kelompoknya dan berbagi tugas antar anggota kelompok sehingga masalah dapat dipecahkan. Savin-Baden dan Major (2004: 86) mengemukakan bahwa dalam sebuah kelompok yang terbentuk untuk menemukan pemecahan suatu masalah, masing-masing individu dalam kelompok tersebut berbagi peran dalam kelompok, yakni sebagai:
a.       facilitator, yang mengontrol, menjaga kelompok agar tetap fokus pada tugas dan meyakinkan semua anggota kelompok bekerja sesuai dengan perannya dan memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam penyelidikan dan pembelajaran.
b.      researcher, yang menemukan bahan belajar atau kebutuhan lain yang yang dibutuhkan oleh kelompok dalam melakukan penyelidikan untuk memecahkan masalah yang diberikan.
c.       encourager, yang memperkuat kontribusi anggota kelompok, mendorong setiap anggota kelompok untuk bekerja dengan sungguh-sungguh sesuai perannya.
d.      timekeeper, yang memonitor waktu, selama kelompok bekerja sehingga mereka dapat menyelesaikan tugas dalam waktu yang tersedia dan mengambil alih peran dari setiap anggota kelompok yang hilang jika tidak ada anggota wildcard.
e.       recorder, yang mencatat perkembangan kegiatan kelompok, mulai dari persiapan, pelaksanaan penyelidikan, diskusi kelompok, termasuk kendala-kendala yang dihadapi, dan menyiapkan kesimpulan tertulis.
f.       checker, yang memastikan bahwa semua anggota kelompok memahami konsep dan kesimpulan kelompok yang telah disepakati.
g.      wildcard, anggota yang berperan sebagai cadangan, yang akan menggantikan peran setiap anggota kelompok yang hilang.
Model pembelajaran berbasis masalah memiliki beberapa keunggulan. Salah satunya adalah pengetahuan yang diperoleh akan lebih dihayati dan lebih lama bertahan di ingatan peserta didik. Ini seperti yang dikemukakan Uden dan Beaumont (2006: 31) yang menyatakan “PBL students retain knowledge much longer than students taught using traditional teaching, although their learning may be less than that of traditional students” bahwa meskipun dengan waktu belajar yang relatif lebih singkat, namun peserta didik yang belajar dengan model pembelajaran berbasis masalah mempertahankan pengetahuan yang mereka pelajari lebih lama dibanding peserta didik yang belajar dengan model pembelajaran tradisional. Hal ini dapat terjadi karena dalam pembelajaran berbasis masalah, peserta didik tidak hanya mengamati apa yang diperagakan, dan mendengarkan apa yang dikatakan guru, menulisnya di buku catatan, tetapi peserta didik yang melakukan, peserta didik yang menyelidiki sendiri masalah yang diberikan, dan menemukan sendiri pemecahannya. Dengan mengalami dan melakukannya sendiri, maka pengetahuan yang diperoleh akan lebih bertahan lama dan sulit untuk dilupakan.
Model pembelajaran berbasis masalah juga dapat melatih peserta didik untuk meningkatkan kemampuannya dalam pemecahan masalah. Arends (1997: 158) menyatakan “problem-based learning helps students develop their thinking and problem solving skills, learn authentic adult roles, and become independent learners” bahwa pembelajaran dengan model pembelajaran berbasis masalah membantu peserta didik mengembangkan keterampilan berpikir dan keterampilan pemecahan masalah, mempelajari peran-peran orang dewasa, dan menjadi pelajar yang mandiri. Dalam hal ini model pembelajaran berbasis masalah membantu peserta didik untuk memproses informasi yang sudah jadi dalam benaknya dan menyususn pengetahuan mereka sendiri. Selain itu peserta didik juga dilatih untuk menjadi dewasa dan menjadi pembelajar yang mandiri dalam kehidupannya kelak.
Keunggulan lain dari model pembelajaran berbasis masalah adalah kemandirian dan tingginya motivasi belajar yang terbentuk pada diri peserta didik. Savin-Baden dan Major (2004: 82) mengemukakan bahwa beberapa perubahan dramatis peserta didik dalam pembelajaran berbasis masalah adalah:
a.       Awalnya dari pendengar yang pasif, sekedar mengamati dan mencatat apa yang diajarkan guru, menjadi pemecah masalah yang aktif, mampu menjadi kontributor dan pembahas suatu masalah. Dengan model pembelajaran berbasis masalah, peserta didik tidak hanya mendengarkan dan mengamati apa yang dikatakan dan dilakukan guru, tidak hanya mencatatnya di buku catatan dan menghafalkannya, tetapi melakukan penyelidikan untuk mencari pemecahan suatu masalah yang diberikan, menemukan pemecahannya, dan mampu untuk mempresentasikan hasil temuannya.
b.      Awalnya seorang peserta didik yang tidak berani mengungkapkan pendapat dan memilih mengambil sikap “cari aman” dengan resiko yang paling kecil, berubah menjadi seorang yang berani mengungkapkan dan mempertahankan pendapatnya dengan segala kemungkinan resiko yang akan ditanggungnya. Hal ini dapat terjadi karena peserta didik tidak hanya mendengar atau melihat suatu pemecahan masalah dari apa yang dikatakan atau dilakukan guru, tetapi peserta didik sendirilah yang menemukan pemecahan masalah tersebut melalui penyelidikan-penyelidikan yang dilakukannya. Dengan melakukan penyelidikan sendiri dan menemukan sendiri, peserta didik lebih “yakin” akan kebenaran apa yang ditemukannya sehingga tidak ada keragu-raguan untuk mempertahankan jawabannya.
c.       Awalnya seseorang yang menempatkan keberadaannya karena pilihan pribadinya sendiri menjadi seseorang yang menempatkan dirinya untuk memenuhi harapan masyarakat. Peserta didik yang awalnya enggan untuk menempatkan dirinya sebagai andalan bagi teman-temannya karena merasa kemampuannya tidak memadai, menjadi lebih berani untuk memenuhi harapan teman-temannya dan bahu-membahu dengan teman-temannya dalam menyelesaikan masalah yang diberikan karena merasa telah “lebih berisi” dan lebih mampu dalam memecahkan masalah dibanding sebelumnya.
d.      Awalnya dari peserta didik yang individualis dengan mengedepankan persaingan dengan teman-teman kelasnya menjadi peserta didik yang aktif bekerja bersama dengan teman-temannya, saling membagi pengetahuan dan membagi tugas-tugas untuk menemukan pemecahan suatu masalah. Dalam hal ini sifat keegoan peserta didik menurun dan peserta didik lebih menonjolkan sifat kolaboratif untuk bekerjasama dengan teman-temannya yang lain dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi sehingga proses pembelajaran dapat berlangsung kondusif.
e.       Awalnya dari peserta didik yang belajar secara independen dan memikul tanggung jawab masing-masing menjadi peserta didik-peserta didik yang belajar secara interdependen dengan tanggung jawab kelompok. Ini terjadi karena dalam proses pembelajaran berbasis masalah peserta didik dimungkinkan untuk berkolaborasi dengan peserta didik yang lain dengan tujuan mencari pemecahan suatu masalah yang mereka hadapi.
f.       Peserta didik yang awalnya hanya berpatokan pada guru dan buku pelajaran sebagai sumber ilmu pengetahuan, menjadi peserta didik yang memanfaatkan berbagai sumber belajar. Ini dapat terjadi karena dalam pembelajaran berbasis masalah, peserta didik dimungkinkan untuk melakukan investigasi dalam upayanya mencari pemecahan suatu masalah yang disajikan dengan memanfaatkan berbagai sumber belajar, seperti merefleksi dari pengalaman sendiri, melihat apa yang dilakukan temannya, dan terjun langsung ke masyarakat sebagai sumber belajar tambahan dalam memperoleh ilmu pengetahuan.
Model pembelajaran berbasis masalah adalah pembelajaran yang menjadikan masalah sebagai wadah bagi peserta didik untuk belajar dan memperoleh ilmu pengetahuan. Proses pembelajaran dengan model pembelajaran berbasis masalah diawali dengan menyajikan masalah untuk diselidiki peserta didik, dan diakhiri dengan penemuan solusi pemecahan masalah. Peserta didik lebih aktif dan termotivasi dalam mengikuti proses pembelajaran dengan melakukan penyelidikan untuk memecahkan masalah yang diberikan. Peran guru hanya memfasilitasi, memediasi, dan hanya akan membantu peserta didik bila benar-benar diperlukan.
2.      Contoh Pembelajaran Berbasis Masalah
Memulai pembelajaran dengan pembelajaran berbasis masalah untuk menemukan rumus luas persegi panjang dan menentukan atau menghitung luas bangun berbentuk persegi panjang siswa diberikan permasalah yang akan diselesaikan secara berkelompok seperti contoh berikut:
1.      Guru mengajak  siswa menghitung luas lantai yang dibatasi dengan tali  membentuk persegi panjang dengan menghitung banyaknya ubin yang  dibatasi oleh tali tersebut
2.      Guru dapat menggambarkan persegi panjang yang dilantai pada papan tulis atau guru menggambarkannya pada lembar kertas yang telah disiapkan guru sebelumnya. Selanjutnya siswa disuruh menghitung luas  persegi panjang apabila 1 ubin merupakan satu satuan luas.














































3.      Guru memberikan kebebasan pada siswa untuk menyelesaikan masalah dengan  caranya sendiri untuk mendapatkan luas persegi panjang. Kemudian guru  meminta masing-masing kelompok untuk menuliskan  jawabannya dipapan tulis dan sekaligus mengkomunikasikan dengan kelompok lain dari mana  jawaban tersebut diperoleh atau alasannya  mendapatkan jawaban tersebut. Maka alternatif jawaban siswa adalah sebagai berikut.
·      Alternatif 1
Dengan membilang satu persatu persegi satuan, maka diperoleh jawaban  siswa: Luas = 45 satuan luas
·      Alternatif 2
Dengan menjumlahkan persegi satuan pada tiap-tiap kolom, maka diperoleh  jawaban siswa: Luas = (5+5+5+5+5+5+5+5+5) satuan luas = 45 satuan luas
·      Alternatif 3
Dengan menjumlahkan persegi satuan pada tiap-tiap baris, maka diperoleh  jawaban siswa: Luas = (9+9+9+9+9) satuan = 45 satuan luas
Dengan menjumlah persegi satuan pada tiap-tiap baris, kemudian siswa  mengubahnya dalam kalimat perkalian, maka diperoleh jawaban siswa:  Luas = (9+9+9+9+9) satuan luas = 45 satuan luas
Luas = 5 x 9 = 45 satuan luas (9 nya ada 5 dituliskan 5 x 9 dan 45 diperoleh dari hasil perhitungan banyaknya persegi satuan pada persegi panjang)
·      Alternatif 4
Dengan langsung mengalikan banyaknya kolom dan baris atau mengalikan baris dan kolom, maka diperoleh jawaban siswa:  Luas = 9 x 5 = 45 satuan luas atau Luas = 5 x 9 = 45 satuan luas
4.      Guru harus dapat menyikapi jawaban siswa yang salah maupun yang benar.  Apabila jawaban siswa salah guru tidak boleh langsung  menyalahkan tetapi harus melihat alasan jawaban dari siswa, baru dari  jawaban siswa ini siswa digiring atau dimotivasi kepada jawaban yang benar.  Untuk  alternatif semua jawaban yang benar seperti contoh diatas, maka guru membenarkan semua jawaban, kemudian guru memberi  kesempatan berpikir siswa dari semua alternatif jawaban yang benar, jawaban mana yang paling mudah dan gampang dikerjakan. Guru  perlu mendengarkan jawaban siswa dan memberikan gambaran pada siswa yang bisa menjadi pertimbangan pada siswa. Sebagai contoh: ”Andaikan kita disuruh menghitung luas ruangan kelas kita yang diketahui panjang dan lebarnya, apakah kita harus menghitung  satu persatu ubin yang ada? (sambil menunjuk jawaban alternatif 1) atau kita harus  banyaknya ubin untuk setiap baris dan kolomnya? (sambil menunjuk jawaban alternatif 2 dan 3). Bagaimana dengan jawaban pada alternatif 4?”. Guru kemudian memperluas permasalahan: ”Bagaimana  kalau kita disuruh menghitung luas halaman sekolah atau luas ruang kelas sekolah kita?”. Nah tentunya untuk mempermudah kita  menghitungnya kita perlu mencari cara, yaitu dengan menemukan cara atau rumus menghitung luas persegi panjang atau persegi (ini merupakan cara guru membawa siswa dari matematika horisontal kepada matematika vertikalnya).
5.      Langkah 5
Bertitik tolak dari jawaban siswa (jawaban alternatif 1, 2 dan 3), guru mengajak siswa menemukan rumus luas persegi panjang. Sebagai contoh seperti berikut ini.
Panjang
 
                      









Lebar
 





































Luas = 45 satuan luas, dapat diperoleh dari mengalikan banyaknya satuan panjang dengan satuan lebar, maka diperoleh rumus luas persegi panjang adalah:


Folded Corner: Luas = luas x lebar
         = p x l
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar