Selasa, 20 Maret 2012

PSIKOLOGI PEMBELAJARAN MATEMATIKA


Teori belajar disebut juga dengan psikologi belajar yaitu teori yang mempelajari perkembangan intelektual (mental) siswa. Di dalamnya terdiri atas dua hal, yaitu: pertama, uraian tentang apa yang terjadi dan diharapkan terjadi pada intelektual anak, dan yang kedua adalah uraian tentang kegiatan intelektual anak mengenai hal-hal yang bisa dipikirkan pada usia tertentu.
Teori belajar perlu kiranya untuk diketahui dan dipahami untuk kemudian menjadi dasar dalam melaksanakan proses pembelajaran. Para tokoh-tokoh terkemuka telah mengemukakan beberapa teori belajar yang mendasari pembelajaran yang berpusat pada peserta didik. Pembelajaran yang berpusat pada peserta didik adalah pembelajaran berdasarkan teori psikologi kontruktivisme. Menurut Orton (2004: 196) constructivism is therefore based on the view that, in the last resort, we all have to make sense of the world ourselves; we develop our understandings throughout life continuously, and through our own efforts and insights.  Makna konstruktivisme adalah pandangan berdasarkan bahwa, kita semua harus memahami diri kita sendiri, kita mengembangkan pemahaman kita sepanjang hidup terus menerus, dan melalui usaha kita sendiri dan wawasan yang kita miliki.
Salah satu ciri dari pembelajaran `matematika berdasarkan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) adalah penyajiannnya didasarkan pada teori psikologi pembelajaran. Dalam bagian ini akan dijelaskan berbagai teori pembelajaran berdasarkan aliran psikologi Stimulus-Respon dan aliran psikologi kognitif dan penerapannya dalam pengajaran matematika sekolah.
Dengan menguasai psikologi pembelajaran, seorang guru dapat mengetahui kemampuan yang telah dimiliki peserta didik, bagai mana proses berpikirnya, dan mampu menciptakan proses pembelajaran sesuai dengan kondisi dan tujuan yang diharapkan.
A.      ALIRAN PSIKOLOGI STIMULUS-RESPON
1.      Teori Thorndike
2.      Teori Skinner
3.      Teori Ausubel
4.      Teori Gagne
5.      Teori Pavlov
6.      Teori Baruda
B.       ALIRAN PSIKOLOGI KOGNITIF
1.      Teori Piaget
2.      Teori Bruner
3.      Teori Gestalt
4.      Teori Brownell
5.      Teori Dienes
6.      Teori Van Hiele
a.        Teori Belajar Piaget
Dijelaskan dalam Orton (2004: 49) Piaget's theory of intellectual development was based on results from experiments with children using the clinical or individual interviewing method. Teori Piaget tentang perkembangan intelektual didasarkan pada hasil dari eksperimen pada anak-anak dengan menggunakan metode klinis atau wawancara individu.
Gambar 1.
Conservasi Piaget

Satu percobaan konservasi didasarkan pada kemasan yang berisi manik-manik. Dua jumlah manik-manik yang sama jumlahnya dimasukan kedalam wadah yang identik, sehingga mencapai ketinggian yang sama di kedua wadah yang dimaksudkan untuk dilihat oleh anak-anak agar anggapannya pada ke dua wadah tersebut benar-benar setara. Manik-manik dari salah satu wadah kemudian dituangkan kedalam wadah dari bentuk yang sangat berbeda, pertama ke dalam wadah luas dan pendek, dan kedua ke dalam wadah yang tinggi dan sempit (lihat Gambar 1). Pada setiap tahap, anak ditanya apakah ada perbedaan antara isi wadah (jumlah manik-manik).
Piaget membagi tahap perkembangan pada manusia berdasarkan usia dalam empat tahap, seprti yang dijelaskan dalam Hergenhahn & Olson (2008: 318-320):
1)      Tahap sensori motor, berada pada usia dari lahir sampai dua tahun. Anak pada tahap ini bersikap egosentris. Segala sesuatu dilihat berdasarkan kerangka referensi dirinya sendiri, dan dunia psikologis mereka adalah satu-satunya dunia yang ada.
2)      Tahap berpikir pra operasional, berada pada usia sekitar dua sampai tujuh tahun. Pada tahap ini, anak mulai membentuk konsep sederhana. Mereka mulai mengklasifikasikan benda-benda dalam kelompok tertentu berdasarkan kemiripannya, tetapi mereka melakukan banyak kesalahan lantaran konsep mereka itu. Anak-anak memecahkan problem secara intuitif, bukan berdasarkan kaidah logika. Dan yang paling menonjol pada tahap ini adalah kegagalannya untuk mengembangkan konservasi.
3)      Tahap operasional konkrit, berada pada usia antara tujuh sampai sebelas atau dua belas tahun. Anak kini mengembangkan kemampuan untuk mempertahankan (konservasi), kemampuan mengelompokkan secara memadai, melakukan pengukuran, dan mengenali konsep angka.
4)      Tahap Operasi formal, berada sekitar sebelas atau 12 tahun sampai empat belas atau Lima belas tahun. Anak-anak kini bisa menangani situasi hipotetis, dan proses berpikir mereka tak lagi tergantung hanya pada hal-hal yang langsung dan riil.
Asimilasi dan akomodasi merupakan dua aspek aktivitas mental yang pada dasarnya merupakan suatu proses yang melibatkan interaksi antara pikiran dan kenyataan, kita menstruktur hal-hal yang ada dalam pikiran kita, namun tergantung kepada bagaimana hal-hal itu ada di dalam realita. Dengan demikian, belajar tidak hanya menambah informasi dan pengalaman baru yang ditempalkan ke informasi dan pengalaman sebelumnya, Tetapi setiap informasi dan pengalaman baru menyebabkan informasi dan pengalaman sebelumnya dimodifikasi untuk mengasimilasi-akomodasi informsi dan pengalaman baru.
b.       Teori Belajar Vygotsky
Menurut Wood, Nelson, & Warfield (2001: 6) menjelaskan prinsip dasar pembelajaran konstruktivis,
they all take as basic tenets of a constructivist theory of learning that children actively construct mathematical knowledge for themselves through interaction with the social and physical environment and through extension and reorganization of their own mental constructs. Children are not passive recipients of such knowledge; they generate it, put structure into it, assimilate it in light of their own mental frameworks, and revise existing mental frameworks to accommodate new experience. Further, such mathematical thinking does not begin in school. Children begin life as active mathematical thinkers and come to school with rich networks of informal mathematical ideas already in place.

Bahwa anak-anak secara aktif membangun pengetahuan matematika untuk diri mereka sendiri melalui interaksi dengan lingkungan sosial dan fisik dan melalui perpanjangan dan reorganisasi mental mereka sendiri konstruksi. Anak-anak tidak penerima secara pasif dari pengetahuan tersebut; mereka menghasilkan hal itu, ia struktur ke dalamnya, mengasimilasi dalam kerangka mental mereka sendiri, dan merevisi kerangka mental yang ada untuk mengakomodasi pengalaman baru. Selanjutnya, berpikir matematis tersebut tidak dimulai di sekolah. Anak-anak memulai hidup sebagai pemikir matematika aktif dan datang ke sekolah dengan jaringan yang kaya ide-ide matematika informal sudah di tempat.
Dalam pandangan ini, mengajar tidak lagi menjadi masalah melihat pikiran siswa sebagai papan tulis kosong dan membuat mereka menginternalisasi matematika yang benar. Sebaliknya, karya pengajaran akan terdiri dari pengembangan konteks pembelajaran di mana siswa bisa bergerak dari mereka sendiri, intuitif, pemahaman matematika untuk orang-orang matematika konvensional. Proses matematika seperti pemecahan masalah, penalaran, membuat koneksi antara ide-ide matematika, dan mengkomunikasikan ide-ide matematika yang disorot. Singkatnya, mengajar matematika dibayangkan sebagai matematika-mengajar untuk membuat rasa, dengan fokus pada isi dan proses.
c.        Teori Belajar Bruner
Tomei (2010: 29-30) menjelaskan “Cognitive theorists focus on the mind’s ability to make sense of the world. Thinking, beliefs, expectations, and feelings influence what and how we learn. Cognitivists view knowledge as the outcome of learning and the power of knowledge as the driving motivator in adult learning”. Teori kognitif berfokus pada kemampuan pikiran untuk memahami dunia. Berpikir, keyakinan, harapan, dan perasaan mempengaruhi apa dan bagaimana kita belajar. Kognitif melihat pengetahuan sebagai hasil pembelajaran dan kekuatan pengetahuan sebagai motivator pada pembelajaran orang dewasa.
Teori belajar yang dipopulerkan Bruner disebut discovery learning. Batasan pengertian discovery learning disebutkan oleh Lefrancois (2000: 209), “discovery learning can be defined as the learning that takes place whwn student are not presented with subject matter in its final form but rather are required to organize it themselves”. Kondisi siswa dalam pengertian belajar discovery tidak pasif menerima keterangan materi dalam bentuk final dari guru, melainkan cenderung menyusun materi sebagaimana yang siswa pahami.
Bruner (Tomei, 2010: 27) mengemukakan bahwa dalam proses belajar anak-anak berkembang melalui tiga tahap perkembangan mental, yaitu:
1)       Tahap Enaktif
Pada tahap ini, anak secara langsung terlihat menggunakan atau memanipulasi (mengotak-atik) objek-objek konkret secara langsung.
2)       Tahap Ikonik
Pada tahap ini kegiatan anak didik mulai menyangkut mental yang merupakan gambaran dari objek-objek konkret. Anak didik tidak memanipulasi langsung objek-objek konkret seperti pada enaktif, melainkan sudah dapat memanipulasi dengan memakai gambaran dari objek-objek yang dimaksud.


3)       Tahap Simbolik
Tahap ini merupakan tahap memanipulasi simbol-simbol secara langsung dan tidak lagi ada kaitannya dengan objek-objek. Pada saat belajar anak belajar lebih mudah dari suatu gerak ataupun proses penginderaan pada objek, selanjutnya berkembang belajar melalui media visual seperti gambar, grafik, peta, foto, dan sebagainya. Pada tahapan berikutnya, seorang anak memiliki kemampuan menerima informasi melalui kata-kata verbal.
d.       Teori Belajar Dienes
Dienes (Bell, 1978: 124) percaya bahwa semua abstraksi didasarkan pada intuisi dan pengalaman konkret, maka dari itu sistem dalam pembelajaran matematika menekankan pada mathematics laboratories, memanipulasi objek, dan permainan matematika.
Menurut Dienes (Bell, 1978: 125-126), konsep-konsep matematika akan berhasil jika dipelajari dalam tahap-tahap tertentu. Dienes membagi tahap-tahap belajar menjadi 6 tahap, sebagai berikut.
a)      Free Play (permainan bebas). Permainan bebas merupakan tahap belajar konsep yang aktifitasnya tidak berstruktur dan tidak diarahkan. Walaupun guru memberikan arahan yang bervariasi dari materi untuk siswa memanipulasi. Disini siswa mendapatkan pengalaman yang pertama dari suatu konsep baru melalui interaksi dengan lingkungan yang mana berisi representation  konkret dari konsep. Pada tahap ini struktur dan bakat mental siswa dibentuk yang mana disiapkan untuk memahami konsep struktur matematika .
b)      Games (permainan yang disertai aturan). Pada tahap ini siswa akan memulai mengobservasi pola dan keteraturan  yang diwujudkan dalam konsep. Melalui permainan anak mulai mengenal dan memikirkan bagaimana struktur matematika itu. Pada tahap ini anak juga sudah mulai mengabstraksikan konsep. Untuk membuat konsep abstrak, anak didik memerlukan suatu kegiatan untuk mengumpulkan bermacam-macam pengalaman, dan kegiatan untuk menolak yang tidak relevan dengan pengalaman itu.
c)      Searching for communities (permainan kesamaan sifat). Pada tahap ini siswa belum mampu mengklasifikasikan contoh dan bukan contoh dari suatu konsep. Dienes menyarankan bahwa guru dapat membantu siswa melihat struktur communality dalam contoh dari konsep yang ditunjukan kepada siswa bagaimana tiap contoh dapat ditransfer kedalam tiap contoh yang lain tanpa merubah sifat abstrak yang umum dari semua contoh.
d)     Representation (representasi). Representasi adalah tahap pengambilan kesamaan sifat dari beberapa situasi yang sejenis. Para anak didik menentukan representasi dari konsep-konsep tertentu. Representasi yang diperoleh bersifat abstrak. Dengan melakukan representasi anak didik telah mengarah pada pengertian struktur matematika yang bersifat abstrak pada topik-topik yang sedang dipelajari.
e)      Symbolization (simbolisasi). Simbolisasi adalah belajar konsep yang membutuhkan kemampuan merumuskan representasi dari setiap konsep-konsep dengan menggunakan simbol matematika atau melalui perumusan verbal.
f)       Formalization (formalisasi). Setelah siswa mempelajari sebuah konsep dan hubungannya dengan struktur matematika, siswa harus memahami sifat dari konsep dan mengingat akibat dari sifat tersebut. Sifat dasar struktur matematika adalah sistem aksioma yang diambil dari sifat theorema dan prosedur. Pada tahap ini siswa dituntut menggunakan konsep untuk memecahkan masalah dan mengaplikasikan masalah dalam matematika.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar